Page 175 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 175
Kedua, mereka dikatakan sebagai masyarakat yang tinggal
menetap dan berketurunan dalam kurun waktu lama. Dalam
pandangan ini, perkembangan masyarakat Kampung Laut
adalah dari pertemuan warga pendatang dengan warga asli
Kampung Laut dalam berbagai konteks, hingga mempunyai
suami atau istri dari warga asli. Dalam pandangan ini, artinya
tidak semua warga yang menetap dan bertempat tinggal di
Kawasan Segara Anakan dapat disebut sebagai warga asli
(sudah bercampur).
Pada proses awal distribusi lahan Tanah Timbul muncul
konflik atas akses lahan antara warga asli dan pendatang.
Warga Kampung Laut sangat menonjolkan pandangan
tentang keaslian mereka sebagai masyarakat Kampung Laut
sehingga merupakan faktor penting hak mereka atas akses
lahan Tanah Timbul. Konteks sejarah ini sangat berpengaruh
khususnya dalam proses penguasaan lahan menggunakan
sistem trukah.
Konflik Perbatasan: Perhutani VS Masyarakat
Pada awal perkembangan Tanah Timbul, batas tanah
tidak jelas. Konflik perbatasan disini dapat dimaknai sebagai
perselisihan interpretasi batas-batas Tanah Timbul. Ketika
itu, luasan Tanah Timbul selalu bertambah dengan mening-
katnya arus sedimentasi di sekitarnya.
Konflik perbatasan antara Perhutani dan masyarakat
terjadi di petak 9 dan petak 10, yang dikuasai masyarakat
melalui trukah. Persepsi masyarakat meyakini Tanah Timbul
berada di luar batas wilayah Perhutani. Pandangan masyarakat
dikuatkan oleh peta wilayah Perhutani sendiri yang meng-
gambarkan batas wilayah Perhutani maksimal berada di jarak
3 km setelah rel kereta yang berada di darat. Hal ini terungkap
pada saat koordinasi pertikaian yang difasilitasi oleh Barkotanasda.
Menurut Dartono, warga Muara Dua, Panikel, wilayah
Perhutani setelah dilihat di atas peta tahun 1970 dari Barko-
161