Page 192 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 192
Lahan pantai yang direncanakan sebagai lahan tambang,
membentang dari batas sungai Bogowonto hingga sungai
Progo, lebih dari 3000 ha, sepanjang 22 kilometer. Masuk ke
arah daratan dan pemukiman sejauh 1,8 km dari garis pantai.
Itu artinya menabrak wilayah sejumlah desa di empat keca-
matan. Desa-desa tersebut adalah Jangkaran dan Palihan di
kecamatan Temon: Glagah dan Karangwuni di Kecamatan
Wates, Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan
Galur, dan Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Keca-
matan Panjatan (selanjutnya yang disebut “warga pesisir”
lebih banyak mengacu pada warga di keempat desa terakhir
ini). Belasan ribu KK petani terancam tergusur dari lahan
pertanian dan rumahnya, hingga sulit dipahami bagaimana
kesejahteraan bisa dimunculkan dari perubahan struktur
agraria secara besar-besaran seperti ini.
Rencana pembukaan tambang ini mendapat penen-
tangan keras dari warga pesisir. Penelitan ini mencoba melihat
beberapa dinamika penting yang terjadi dalam perlawanan
warga atas dominasi negara dan modal dalam menentukan
cara mewujudkan kesejahteraan ini, khususnya di dua desa,
Garongan dan Bugel. Dengan latar sejarah bersama dalam
usaha merubah nasib sendiri, warga di kedua desa ini menun-
jukkan pada negara bahwa mereka mampu mengusahakan
cara mewujudkan kesejahteraan yang lebih konkrit dan realis-
tis (yang lebih dapat dipercaya).
Sejarah Singkat Penguasaan Sumber Agraria
Pada awalnya, kondisi gurun pasir tepi pantai Kulon
Progo gersang dan tandus, segala yang tumbuh tidak ada yang
bisa dimakan dan layak dijual, hanya ada rumput duri, pandan
duri, dan sidaguri. Sejak zaman VOC Belanda, warga pesisir
Kulon Progo dilarang menghimpun garam dari lautan untuk
menyambung hidup. Kondisi kemiskinan selalu melekat pada
178