Page 195 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 195
palawija. Warga pesisir menyebut ukuran luas lahan garapan
mereka dalam satuan “kotakan” (satu kotak), luasnya rata-
rata 2000-3000 M2, dan paling luas di desa Garongan adalah
7000 m2.
Kondisi Sosial Ekonomi “Wong Cubung”
Sebelum Pengolahan Lahan Pasir
Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum di-
temukannya teknik pengolahan menjadi lahan subur seperti
sekarang ini, merupakan gurun pasir tandus penuh alang-alang.
Pemanfaatan lahan pasir hanya bisa dilakukan di musim hujan
dengan beberapa tanaman saja seperti ketela dan kentang
kleci (kecil). Sulit diharapkan gurun pasir bisa memenuhi
kebutuhan sehari-hari masyarakat. Ketika musim kemarau
datang angin laut yang keras mengarah ke desa membawa
penyakit debu dan pasir yang menyebabkan sakit mata massal
(belek’an) di hampir seluruh desa pesisir. Banyak warga yang
merantau keluar desa untuk merubah taraf hidupnya. Seba-
gian kecil menjadi TKI ke Malaysia, Hongkong, dan Timur
Tengah.
Sebagian warga lainnya hidup dengan berdagang kecil-
kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan peng-
gembala kambing. Menurut Pak Diro seorang pelopor dan
ketua kelompok tani di Garongan, banyak warga Garongan
dulu yang bekerja sebagai Rembang Tebu (pemanen tebu),
pembuat sungai, atau pencari batu apung di pantai, sekedar
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam keterangan beberapa warga Garongan dan Bugel,
bahwa dalam kehidupan sehari-hari untuk makan nasi saja
hanya bisa sekali, selebihnya adalah ketela (ubi jalar atau ubi
kayu) yang rebus atau digoreng. Rata-rata warga tidak menge-
cap pendidikan, jikapun ada hanya sampai Sekolah Dasar
saja dan sebagian besar tidak lulus. Sebagaimana diceritakan
181