Page 197 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 197

tanaman tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan sub-
             sistensi mereka sehari-hari. Namun, hanya itulah yang mereka
             mampu saat itu.
                   Ketiga, ketidakpastian identitas lahan pasir. Sebab per-
             tama dan kedua tak bisa dilepaskan dari faktor ketiga ini.
             Sebagian nenek-moyang pertama yang mendiami gurun pasir
             ini mengerti bahwa mereka hanyalah nunut (numpang) di
             lahan milik Paku Alam Ground. Meskipun dapat dipastikan
             mereka tak tahu persis bagaimana bentuk legalitas identitas
             lahan Pakualaman Ground itu termasuk batas wilayahnya.
             Yang mereka tahu waktu itu adalah seluruh pesisir Kulon
             Progo adalah milik keraton Paku Alaman. Ketidaktahuan
             hukum formal pertanahan di lahan pasir ini mengakibatkan
             para Wong Cubung tak punya kemampuan dan imajinasi
             lebih untuk mengolah lahan pasir yang mereka diami selama
             ini. Yang penting masih bisa hidup, tinggal dan menetap diatas
             lahan pasir tersebut sudah untung. Meskipun demikian seiring
             terbukanya informasi, mendorong sebagian kecil warga
             memahami status lahan yang disebut terlantar atau tanah
             merah dan boleh untuk diolah oleh warga yang mendiaminya
             selama tidak mengubah bentuk aslinya. Sebagian lain
             kemudian juga mengetahui status tanah absente, tanah swapraja
             dan UUPA 1960 yang mendorong dan menjamin mereka
             untuk mengelola lahan pasir tersebut sebagai lahan pertanian
             mereka.
                   Keempat, relasi kuasa timpang pembangunan, pusat-
             pinggiran. Ketika sebagian warga pesisir sudah mulai menetap
             dan mengembangkan lahan pasir mereka menjadi pertanian
             meskipun belum seperti sekarang ini, mereka dihadapkan
             pada kenyataan bahwa daerah pesisir belum dipandang
             ‘potensial’ secara ekonomi-politik bagi pemerintah daerah
             dan provinsi. Sehingga pembangunan di sekitar pesisir tidak
             sekuat dan sepesat di daerah kabupaten lain, seperti Bantul
             dan Sleman. Desain pembangunan yang timpang ini bukan

             183
   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202