Page 196 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 196
sebelumnya, kondisi lingkungan masyarakat desa Garongan
dan Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin dibanding
desa-desa lain di kecamatan Panjatan.
Dari segi fisik tempat tinggal mereka masih berupa gedek
(anyaman bambu) dan beratap blarak (anyaman daun kelapa).
Mayoritas basis subsistensi warga adalah buruh tani dan land-
less yang hanya bergantung pada petani kaya di desa sebelah
(non-pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman
di lahan pasir, di musim kemarau seperti: kacang tanah, ketela
kaspo, ketela muntul dan kentang kleci, namun tak cukup untuk
kebutuhan minimum keseharian, maka apapun kerja buruh
yang bisa menghasilkan akan dilakukan.
Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan inilah yang
kemudian membuat orang luar (non-pasir) yang lebih sejah-
tera sering menyebut mereka sebagai Wong Cubung. Jika
ditelusuri lebih jauh setidaknya ada empat hal yang menjadi-
kan desa pesisir atau Wong Cubung ini bertahan terus mene-
rus: pertama, persepsi terhadap lahan pasir dan gurun atau
bentuk hubungan dengan alam (gurun pasir). Bagi masya-
rakat pesisir waktu itu gurun pasir hanyalah lahan kering yang
tak bisa diolah, ibarat tanah mati. Kalaupun mereka coba-
coba untuk mengolahnya adalah sekedar saja, dan itupun ber-
gantung pada air hujan atau ladang tadah hujan yang sifatnya
berpindah-pindah sesuai dengan kondisi lahan yang hendak
ditanami. Karena itu mayoritas Wong Cubung tidak berharap
banyak dari lahan pertanian mereka, tetapi lebih banyak kerja
di luar pertanian, sebagaimana dijelaskan di muka.
Kedua, keterbatasan kemampuan untuk pemanfaatan
lahan pasir. Ketiadaan pengetahuan dan teknologi pertanian
pengolahan lahan pasir menjadikan masyarakat pesisir atau
Wong Cubung berasumsi bahwa sampai kapanpun tanaman
yang cocok bagi lahan pasir kering hanyalah tanaman tahan
kering seperti kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan
kentang kleci. Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa
182