Page 194 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 194
Penguasaan sumber agraria dilakukan secara ‘alamiah’
oleh warga pesisir, dengan asumsi lahan pasir tersebut masih
bebas untuk dimiliki oleh siapa saja yang mengusahakan. Bagi
warga miskin yang bekerja sebagai penggembala kambing di
hutan alang-alang dan gurun pasir, biasanya jika menemukan
lahan yang dianggap bisa ditanami, ia akan memberi patok
sebagai tanda lahan mereka (telah dimiliki). Pada masa ter-
tentu, biasanya ditanami ketela dan umbi-umbian lainnya
yang tahan kering (kurang air), juga untuk menandai sebagai
‘hak milik’ (disebut “lahan garapan”). Kini, warga yang dulu-
nya bekerja di luar gurun pasir (tidak menggembala kambing)
umumnya tidak memiliki wilayah “lahan garapan” yang luas.
Sebab mereka tidak pernah mematok lahan-lahan di dalam
hutan ilalang dan gurun. Sehingga ketika kini lahan pasir
(hutan ilalang) sudah menjadi subur, orang-orang yang dulu-
nya miskin namun memiliki lahan yang lebih luas, kini hidup-
nya secara ekonomi lebih baik.
Menurut warga desa Garongan dan Bugel, lahan pasir
dibagi menjadi dua kategori, yakni Tanah Pemajekan dan Tanah
Garapan. Tanah pemajekan adalah tanah yang bersertifikat dan
wajib pajak, berada di sebelah dalam setelah tanah garapan
(sekitar 400-500 m dari bibir pantai) dan dekat dengan peru-
mahan warga. Tanah pemajekan rata-rata bukan lahan pasir
100%, dan bisa ditanami sejak dulu, baik tanaman pangan
utama, padi jagung, ubi maupun buah-buahan, meski tidak
sesubur sekarang. Kepemilikan tanah pemajekan ini merupa-
kan warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya dan ber-
sertifikat legal. Tanah garapan adalah lahan pasir yang ber-
batasan langsung dengan bibir pantai yang dulunya berupa
bukit (gumuk) pasir yang kering dan tandus. Setelah warga
pesisir menemukan cara pertanian lahan pasir kemudian
tanah merah (terlantar) tersebut diolah dan digarap menjadi
lahan subur. Kini lahan-lahan garapan itu sudah dianggap
milik mereka dan umumnya ditanami cabe, semangka dan
180