Page 86 - Regulasi-Pertanahan-dan-Semangat-Keadilan-Agraria
P. 86
Regulasi Pertanahan dan Semangat Keadilan Agraria 73
Perpres No.88 Tahun 2017 lebih bersifat rigid atau
formalistik-legalistik, karena tidak membuka
kemungkinan untuk penyelesaian masalah dengan
melihat pada kondisi kawasan hutan yang senyatanya.
Rumusan penyelesaiannya lebih bersifat mekanistik,
abai terhadap masalah sosial, ekonomi, dan politik
pada masyarakat yang menguasai tanah dalam kawasan
hutan. Penyelesaian masalah resettlement, misalnya,
seolah mudah dilakukan. Padahal kenyataannya untuk
melakukan permukiman kembali, hak dan kewajiban
mereka yang terkena dampak, dan hal-hal mendasar
lainnya, misalnya kesejahteraan sosial-ekonomi pihak
terdampak resettlement belum jelas. Apakah aturan
tentang pemukiman kembali sebagaimana diatur
dalam Pasal 97 ayat (1) huruf ( c) jo Pasal 101 dan Pasal
202 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman yang akan dijadikan acuan? Secara
substansial tampaknya tujuannya berbeda, karena
pemukiman kembali menurut UU No. 1 Tahun 2011
adalah untuk peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan pemukiman yang kumuh. Sedangkan
resettlement terhadap masyarakat yang menguasai
tanah di dalam kawasan hutan terkait dengan hunian
dan lahan garapan. Demikian juga ketentuan tentang
relokasi masyarakat korban “penggusuran” yang tinggal
di bantaran sungai dan bidang tanah negara lainnya,
tidak dapat serta merta diterapkan untuk “resettlement”
yang dirumuskan dalam Perpres No.88 Tahun 2017
ini. Tentu tidak sederhana menemukan jalan keluar
melalui resettlement jika yang menjadi intinya adalah
perlindungan HAM dari masyarakat yang bersangkutan.
Tampaknya Perpres ini masih perlu terus dikawal
sehingga dapat dilaksanakan dalam rangka
memberikan keadilan agraria bagi masyarakat yang
sudah menguasai tanah secara de facto dalam jangka
waktu relatif lama, namun secara de jure termasuk
dalam kawasan hutan.