Page 144 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 144

saya  anjurkan  agar  kamu  tidak  percaya  pada  orang  bingung.
               Jawaban orang bingung bukanlah jawaban yang bijaksana.”
                   “Jadi, kau bisa mengajukan jawaban yang bijaksana itu?”
               Aku memberi tekanan sindiran pada kata­kata yang terakhir:
               jawaban yang bijaksana.
                   Ia menggeleng. “Maksud saya, pertanyaan modernis kamu
               itu  membikin  orang  kampung  yang  tradisional  jadi  bingung.
               Karena, pertanyaan itu tidak pada tempatnya.”
                   “Maksudmu,  pertanyaan  bodohku  membikin  orang  tolol
               itu jadi bingung? Kenapa sih takut amat bilang bahwa orang
               kampung itu tolol? Kalau tolol ya tolol aja.” Aku mulai jengkel.
               Ketika menuliskan ini sekarang, aku tahu kata yang kumaksud
               untuk sikap Parang Jati yang tak mau menyebut bahwa orang
               kampung  itu  tolol  adalah  sikap  “politically  correct”.  Sikap
               menolak  prasangka  dan  ketidakpatutan.  Pada  saat  itu,  aku
               belum kenal istilah ini.
                   Ia  menggeleng  lagi,  seolah­olah  menakjubi  kebebalanku.
               Ini sikap Parang Jati yang menjengkelkan bagiku.
                   “Katakanlah, kepercayaan tentang babi ngepet itu datang
               dari  masa  silam.  Ketika  itu  ilmu  dikuasai  oleh  ilmu­ilmu
               supranatural demikian. Belum ada ilmu obyektif macam seka­
               rang.  Seperti  kamu  tahu  dari  cerita­cerita  silat,  persaingan
               antar orang berilmu dilakukan antara lain lewat perang tanding
               hewan  jadian.  Semakin  sakti,  semakin  orang  bisa  menjelma
               hewan tingkat tinggi. Seperti sport zaman sekarang, lah. Nah,
               apakah harimau dianggap lebih tinggi dari babi, apakah babi
               lebih tinggi dari ayam, di situ ada lagi perdebatan filosofis yang
               tak pernah selesai.
                   “Ada satu motif cerita yang ada di folklor nyaris seluruh
               penjuru  dunia.  Tentang  menaklukkan  juru  sihir  jahat.  Si  tu­
               kang  sihir  ditantang,  jika  ia  betul­betul  sakti,  bisa  tidak  ia
               menjelma tikus. Merasa dilecehkan, juru sihir yang pongah itu
               segera menjelma tikus. Si penantang pun menjelma kucing dan


            13
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149