Page 149 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 149

Sepasang lelaki dan perempuan terbuat dari ketan putih
                 dinaikkan  pada  tandu.  Beberapa  lelaki  mengangkat  jempana
                 itu  ke  pundak  mereka  sambil  menyerukan  hitungan  jirolu.
                 Dua sosok itu menjelma pengantin sesaji, tertinggikan di atas
                 kerumunan.  Wajah  mereka  dilukis.  Mata  mereka  bundar.
                 Bibir mereka merah soka. Mereka dihiasi kembang tujuh rupa.
                 Ibu­ibu telah menganggit mereka sejak kemarin. Bapak­bapak
                 akan mengusungnya ke kaki bukit gamping hari ini. Anak­anak
                 tak  sabar  menanti  puncak  perayaan,  yaitu  manakala  kedua
                 pengantin disembelih dan leher mereka mengucurkan merah
                 gula. Upacara kali ini lebih meriah daripada biasanya, kutahu
                 dari Parang Jati. Para pengantin lebih besar daripada tahun­
                 tahun lalu, nyaris seukuran dara dan jaka cilik. Kembangnya
                 lebih  bergerumbul.  Tumpeng  dan  sesaji  pengiring  lebih  ba­
                 nyak.  Orang  memakai  kembali  pakaian  tradisional.  Ibu­ibu
                 bersanggul  dan  berkebaya.  Lelaki  mengenakan  sorjan  atau
                 batik.  Anak­anak  kecil  mengenakan  baju  seadanya.  Sebagian
                 tidak  memakai  celana.  Mereka  tidak  bercelana  agar  mereka
                 tidak  buang  air  di  celana.  Sebab  mencuci  celana  lebih  repot
                 daripada mencuci alat buang air.
                     Kulihat  penghulu  Semar  membacakan  doa  secara  Islam.
                 Seorang tetua desa membacakan mantra. Ia tampak berwiba­
                 wa, mengenakan blankon dan sorjan seorang dalang. Lelaki itu
                 mengingatkan aku pada ikonografi Resi Bisma. Di sebuah sudut
                 kulihat seorang perempuan paruh baya sedang merokok tiada
                 henti.  Lalu  kutahu  dia  adalah  juru  kunci  mataair  di  wilayah
                 ini.  Dia  juga  seorang  pawang  hujan  serta  masih  berkerabat
                 dengan Kabur bin Sasus. Perempuan memiliki banyak peran di
                 belakang layar, tapi mereka tak mendapat tempat di panggung
                 upacara. Ini dunia beradat lelaki.
                     Udara  sumuk,  seperti  yang  kami  tahu  jika  hujan  sedang
                 ditunda. Kami menuruni bukit dan bergabung ke dalam keru­
                 munan. Aku mencoba mencari istri mendiang tapi tak mene­


                                                                        13
   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153   154