Page 151 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 151

warna kucing jahe, hingga coklat tanah seperti gula aren. Juruh
                 maupun  darah  sama  merah.  Manisnya  legi.  Ketannya  gurih
                 bersantan. Setelah tubuh kedua pengantin itu dipotong­potong,
                 orang­orang  pun  berpesta  kue  lupis.  Anak­anak  yang  paling
                 senang, sebab merekalah yang paling menyukai rasa manis.
                     Sementara  itu  kepala  kedua  pengantin  disusun  ulang
                 dalam  tampah  yang  lebih  kecil  dan  telah  dihias.  Nyiru  itu
                 akan  dibawa  ke  Watugunung  dan  dipersembahkan  persis  di
                 mezbah di pundak gunung tempat Kabur bin Sasus dulu me­
                 naruh  sesajennya.  Parang  Jati  menjelaskan  kepadaku  bahwa
                 dengan  demikian  bangsa  halus  yang  menghuni  bagian  bukit
                 kapur Sewugunung yang akan ditambang itu dipindahkan ke
                 Watugunung. Demikianlah praktik yang telah bertahun­tahun.
                     Aku  terhenyak.  “Sialan!  Maksudmu,  Watugunung—Batu
                 Bernyanyiku  itu—adalah  suaka  para  jin  yang  terusir  oleh
                 penambangan?” seruku.
                     “Ya, begitulah,” sahutnya sambil menyeringai lucu. “Jika
                 kelak bukit­bukit gamping ini habis, kamu bayangkanlah be­
                 rapa banyak siluman yang menghuni Watugunung.”
                     Aku  geleng­geleng  kepala.  Dalam  suasana  ringan  dan
                 ceria aku membayangkan Sebulku. Akankah dia harus berbagi
                 tempat  dengan  siluman  yang  terkena  gusur  itu.  Ataukah  dia
                 nyonya­tuan­penjaga rumah yang baik.


                     Tiba­tiba di langit aku melihat dua kepala terpental, bagai
                 dua  butir  gundul  pecingis.  Sesaat  kemudian  keduanya  jatuh
                 kembali ke tanah dan terburai menjadi seonggok daging ketan.
                 Aku mencium bau kebencian di udara.
                     Pemuda Kupukupu telah berada di sana bersama beberapa
                 pengikutnya.  Ia  mengenakan  busana  khasnya.  Jubah  putih
                 yang digabung dengan rompi kulit pendekar komik. Ia menge­
                 nakan  tudung  bulu  yang  berjumbai­jumbai.  Kasutnya  kulit
                 bertali­tali. Tapi kali ini kulihat sebilah pedang dalam sarung


                                                                        1 1
   146   147   148   149   150   151   152   153   154   155   156