Page 150 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 150
mukannya. Terlalu banyak orang. Aku menyapa sekadarnya
sembarang lelaki di dekatku. Meriah ya, Pak, kali ini? Ia
menjawab bersetuju dalam bahasa Jawa. Untuk menghindari
pageblug, Mas. Sebab baru saja ada “kejadian”.
Bangkitnya mayat Kabur bin Sasus telah disebut sebagai
“kejadian”. Orang tak berani menyebutnya terangterangan.
Kebangkitan itu telah menjadi pamali, pantang untuk diucap
kan.
Tandu mulai bergerak meninggalkan alunalun. Iring
iringan berjalan lambat. Suara penandu menyamakan langkah
dan menghitungkan jirolu bagaikan mantra. Anakanak men
jerit kegirangan. Iringiringan merayap mengelilingi desa,
sebelum berarak ke arah bukit kapur.
Kami tiba di sebuah kaki cadas. Kemudian aku tahu
bahwa penggalian kapur akan mulai di sana. Penghulu Semar
tampak dalam rombongan utama, yang terdiri dari orang
orang penting desa. Tapi ia tidak memimpin doa lagi. Di bagian
ini upacara menampakkan bentuk Jawa praIslam. Yaitu upa
cara penyembelihan sepasang pengantin yang dipersembahkan
kepada rohroh penjaga perbukitan. Tak tercatat apakah di ma
sa silam adalah putraputri desa sendiri yang dipersembahkan.
Tetua desa Sang Resi Bisma mengambil sebilah belati yang
disodorkan kepadanya pada sebuah nampan oleh seorang anak
gadis. Lelaki itu mengacungkannya sebentar sambil membaca
mantra pendek. Lalu ia pun menebas leher kedua pengantin.
Kepala mereka terguling ke atas nyiru. Kulihat warna juruh
muncrat dan mengalir dari pusat leher yang terpenggal. Warna
itu mengalir sesaat tanpa denyut.
Anakanak bersoraksorai. Setelah upacara selesai, mereka
berhak berebutan tubuh dan darah itu. Ketan putih dan juruh
gula merah. Merah putih, warna purba nusantara, warna
bendera Indonesia. Orang Jawa menyebut “merah” untuk
rentang warna luas. Mulai dari kuning kecoklatan seperti
1 0