Page 146 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 146
bersama.” Ia diam, seperti mencari contoh yang lebih mengena
bagiku tapi tak menemukannya saat itu. “Tapi kalau sifatnya
hanya perayaan, upacara, festival yang telah turuntemurun,
saya kira ia memelihara pengetahuan purba yang berharga
untuk mengenal asalusul kita. Dan barangkali memiliki kebi
jakannya sendiri.”
Ia terdengar seperti orang tua. Ia segera menyadari air
mukaku yang tak terhibur, dan berkata dengan mata tajam,
“Kamu tak merasa berharga mengetahui halhal mengenai
nenekmoyang?”
Aku sedikit mencibir. “Memang ada festival babi ngepet?”
Ia tidak terpancing. Ia tetap pada genderangnya.
“Bukan sebagai nilainilai, tapi sebagai pengetahuan me
ngenai nenekmoyang,” ia menegaskan. “Kamu kan tidak harus
menurut pada apa yang kamu ketahui?”
Sesungguhnya pertanyaan itu membukakan satu hal se
derhana kepada aku yang lekas mempertahankan diri ini. Aku
semula tak menyadari perkara sederhana perbedaan antara
mengetahui dan mematuhi. Dalam hidupku selama ini, aku
tak hendak mempelajari nilainilai leluhur sebab aku tak mau
berada dalam kuasa nilainilai itu, yang penuh takhayul dan
tidak egaliter. Tapi, Parang Jati membuatku terbuka bahwa se
sungguhnya aku bisa mengetahui nilainilai itu tanpa menjadi
percaya takhayul ataupun bersikap kolot. Aku bisa mengetahui
tanpa harus menyetujui.
Pada kesempatan lain Parang Jati mengatakan kepada
ku, bahwa kebanyakan manusia modern adalah Sangkuriang.
Seperti juga Oedipus, Sangkuriang merasa harus membunuh
ayahnya agar bisa menjadi dirinya sendiri. Kebanyakan manu
sia modern membunuh tradisi yang dianggap siasia dan
terbelakang. (Seperti aku menyangkal nilainilai orangtuaku.
Tidak mau mengetahui adalah salah satu bentuk peniadaan
itu.) Sesungguhnya, sikap ini justru bukan sikap berdaulat,
13