Page 421 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 421
dan memakainya di depan sang pemberi. Menurutku ini tidak
cukup masuk akal. Tapi, kengototannya itu memang tidak
rasional. Ia berlebihan takut dikira tidak menyukai cincin itu.
Justru karena ia memang tidak menyukainya. Ia bukan takut
dikira; tepatnya, ia takut ketahuan.
Pendek cerita aku dan Parang Jati punya akal untuk
membuatkan yang palsu. Paling tidak Marja bisa memakainya
sementara yang asli belum ketemu.
Pergilah kami ke pasar batu akik. Untunglah ia punya
kebiasaan unik: memotret bendabenda yang baru menjadi
miliknya (ia punya foto si Tumangku di komputernya; ia
ambil sejak kami mulai pacaran). Berdasarkan gambar itu
kami mencari yang paling mirip (gambar kecubung, maksudku,
bukan gambar si Tumang). Tapi kami tak bisa menemukan
yang setara. Dan yang paling mirip pun begitu mahalnya
karena merupakan batu tua.
Akhirnya Parang Jati menemukan sebutir yang nyaris
serupa. Hanya, batu ini masih sangat muda. Warna delimanya
begitu encer. Parang Jati mengamatamatinya dengan sek
sama. Ia menawar dan membelinya dengan harga lumayan
murah.
“Tapi ini cair sekali,” rengek Marja.
“Sssh!” desisnya sambil memejamkan mata seperti se
orang pertapa hendak memulai semadi. Setelah agak lama ia
membuat kami tertegun, mata bening bidadarinya tibatiba
terbuka lagi. “Saya bisa membuat mukjizat,” katanya.
Ia menikmati ekspresi wajahku dan wajah Marja.
“Mau taruhan? Saya akan membuat batu muda ini menjadi
tua.”
“Sekarang juga?”
Ia menggeleng. “Mukjizat itu juga perlu tenaga, Kawan.
Energi yang harus saya keluarkan untuk mengubah sebutir ba
tu muda menjadi tua akan sangatlah banyak. Saya akan sangat
11