Page 138 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 138

seorang lelaki yang berdiri begitu angkuh, ia segera menghentikan
                 pem bicaraannya dan ikut berdiri menghadapi lelaki yang memandang-
                 nya dengan kemarahan yang tersimpan baik di dalam sorot matanya.
                 Shodancho segera mengenalinya sebagai petarung di pantai itu, namun
                 sebelum ia mengatakan apa pun, Maman Gendeng mendahuluinya,
                 ”Dengar, Shodancho.” Dan menambahkan dengan segera: ”Tak seorang
                 pun boleh tidur dengan Dewi Ayu kecuali aku, dan kukatakan jika kau
                 berani kembali ke tempat tidurnya, aku akan memporakporandakan
                 tempat ini tanpa ampun.”
                    Betapa marahnya Shodancho itu mendengar seseorang yang belum
                 dikenalnya mengancam begitu rupa: di sini, di kantornya sendiri. Ia
                 ber tanya-tanya apakah lelaki ini belum mengetahui siapa dirinya.
                 Negara bisa menggantungnya hanya dengan membiarkan mulutnya
                 me ngatakan bahwa lelaki itu harus digantung. Lagipula ia tahu Dewi
                 Ayu seorang pelacur, jika masalahnya ia meniduri pelacur itu tanpa
                 membayar, ia akan membayar lebih banyak dari yang telah dibayarkan
                 orang lain. Jengkel dengan sikap angkuh preman di hadapannya, dan
                 didorong kemarahan yang datang tiba-tiba, Sang Shodancho mencabut
                 pistol yang tergantung di pinggangnya. Pengait dilepaskan dan ia meno-
                 dongkannya pada lelaki itu seolah ia ingin mengatakan bahwa ia tak
                 takut ancaman apa pun dan sebaiknya kau segera angkat kaki dari sini
                 kecuali kau ingin aku menembakmu.
                    ”Baiklah, rupanya kau tak tahu siapa diriku,” kata sang preman.
                    Waktu itu Shodancho sama sekali tak bermaksud menembaknya
                 kecuali untuk sedikit membuat lelaki itu takut. Tapi ketika dilihatnya
                 Maman Gendeng mengeluarkan pisau belati dari balik pinggangnya,
                 ia tak punya pilihan lain kecuali menarik pelatuk dan peluru melesat
                 bersamaan dengan suara letusan. Ia melihat Maman Gendeng ter-
                 dorong ke arah dinding, tapi betapa terkejutnya menyaksikan betapa
                 lelaki itu sama sekali tak menderita luka apa pun. Pelurunya berpus-
                 ing di lantai, padahal ia yakin tak meleset sedikit pun karena ia telah
                 terbiasa menembak tepat pada jarak lima puluh meter. Keterkejutan-
                 nya bertambah-tambah ketika dilihatnya Maman Gendeng hanya
                 tersenyum ke arahnya.
                    ”Dengar, Shodancho,” katanya. ”Aku mengeluarkan belati ini bukan

                                             131





        Cantik.indd   131                                                  1/19/12   2:33 PM
   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143