Page 133 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 133

sekali tak bisa dibenarkan. Tapi sejak pertemuan mereka dan setelah
              melewati malam yang hangat itu, ia telah dibuat jatuh cinta pada pe-
              rempuan itu. Untuk pertama kalinya, ia bisa melupakan semua luka-
              luka sebelumnya, melupakan Nasiah dan Rengganis Sang Putri, dan
              terpesona pada seorang pelacur yang begitu mengagumkan. Ia tak ingin
              terluka kembali, maka jika ia tak bisa mengawininya, paling tidak hanya
              ia dan tidak orang lain yang akan menidurinya.
                 Ketenangan pelacur itu sungguh luar biasa, tentunya lahir dari ke cer-
              dasan alami. Ia membuang asap rokok secara teratur, dan ma ta nya me-
              mandang asap yang terbang bagaikan seorang pemikir tengah me renung.
              Aroma rokoknya sangat jelas tanpa cengkih, ringan, sebagaimana rokok
              impor kebanyakan. Tadi ia muncul dengan gelas limunnya sendiri, dan
              selepas satu batang rokok habis, ia meminum bagiannya. Dengan gerakan
              tangan ia memberi isyarat pada sang preman untuk meminum limun
              dingin di depannya, dan de ngan canggung sang preman melakukannya.
              Di kejauhan seorang anak menabuh beduk dari sebuah masjid, sore itu
              sekitar pukul tiga.
                 ”Menyedihkan,” kata sang pelacur. ”Kau lelaki ketiga puluh dua
              yang mencoba memilikiku.”
                 Itu tak membuat sang preman terkejut, sebab ia telah menduganya
              dengan sangat tepat. Hal ini memberinya sedikit keberanian untuk
              bicara. ”Jika aku tak bisa mengawinimu,” katanya, ”paling tidak aku
              mem bayarmu setiap hari sebagai pelacur.”
                 ”Masalahnya lelaki tak setiap hari bisa meniduriku, dan aku akan
              sering menerima uang buta,” kata Dewi Ayu sambil tertawa kecil. ”Tapi
              aku suka, paling tidak, jika aku hamil kini aku tahu siapa ayahnya.”
                 ”Jadi kau sepakat bahwa kau jadi pelacurku seumur hidupmu?” tanya
              Maman Gendeng.
                 Dewi Ayu menggeleng. ”Tak selama itu,” katanya, ”tapi selama kau
              mampu, terutama uang dan kemaluanmu.”
                 ”Aku bisa mengganti kemaluanku dengan ujung jari, atau kaki sapi
              jika kau merasa kurang.”
                 ”Ujung jari telah cukup, asal tahu cara memakainya,” kata Dewi Ayu
              tergelak, dan kemudian ia tiba-tiba terdiam sebelum berkata kembali,
              ”Jadi inilah akhir karierku sebagai pelacur umum.”

                                           126





        Cantik.indd   126                                                  1/19/12   2:33 PM
   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138