Page 128 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 128

Mereka bercinta malam itu dan bercumbu nyaris semalaman. Ke-
                 dua nya tampak begitu hangat bagaikan sepasang kekasih yang lama tak
                 berjumpa. Ketika pagi datang, masih telanjang bulat dan hanya dibalut
                 selimut satu untuk berdua, mereka duduk di depan paviliun menikmati
                 udara yang dingin. Burung pipit tampak berisik berloncatan di dahan-
                 dahan pohon jeruk, dan burung gereja terbang pendek di ujung atap.
                 Matahari muncul bersama kehangatannya dari celah bukit Ma Iyang
                 dan Ma Gedik di utara kota.
                    Halimunda mulai terbangun. Sepasang kekasih itu mulai bersiap,
                 me nanggalkan selimut mereka, berendam di air hangat pada sebuah bak
                 mandi besar peninggalan orang Jepang, dan berpakaian. Seba gaimana
                 pagi-pagi sebelumnya, Dewi Ayu akan pulang ke rumahnya sendiri. Ia
                 punya anak, tiga orang gadis, katanya, tapi ia tak akan menawarkan
                 mereka kepadanya, sebab tak satu pun di antara mereka merupakan
                 pe lacur. Maman Gendeng berkata padanya, bahwa ia tak akan pernah
                 meniduri perempuan yang bukan pelacur, kecuali pernah di waktu pe-
                 rang dan ia dalam keadaan patah hati. Dewi Ayu pulang diantar becak
                 dan Maman Gendeng bersiap memulai hari barunya di kota itu.
                    Mama Kalong menjamunya sarapan pagi, berupa nasi kuning dengan
                 sayur jamur merang dan telur ayam puyuh yang dipesannya pagi-pagi
                 sekali dari pasar. Maman Gendeng kembali bertanya ten tang lelaki
                 terkuat, sungguh-sungguh yang paling kuat, di kota itu. ”Sebab tak
                 mung kin ada dua jagoan di satu tempat,” katanya. Itu benar, kata Mama
                 Kalong. Ia menyebut nama seorang lelaki, Edi Idiot, preman terminal
                 paling ditakuti. Mama Kalong menyebutkan reputasinya: tentara dan
                 polisi takut belaka kepadanya, dan ia mem bunuh lebih banyak orang
                 daripada seorang prajurit di masa perang lalu, dan semua bandit dan
                 perampok dan bajak laut di kota itu anak buahnya belaka. Kemung-
                 kinan terbesar ia telah mendengar namanya, sebab preman-preman
                 tempat pelacuran tentunya telah me lapor. Begitu siang datang, Maman
                 Gendeng segera beranjak menuju terminal bis, menemui lelaki yang
                 tengah bergoyang-goyang di kursi ayun kayu mahoni.
                    ”Berikan kekuasaanmu padaku,” kata Maman Gendeng kepadanya,
                 ”atau kita bertarung sampai seseorang mati.”
                    Edi Idiot telah menunggunya, bagaimanapun. Ia menerima tan-

                                             121





        Cantik.indd   121                                                  1/19/12   2:33 PM
   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133