Page 123 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 123

luap. Kunci dibukanya, dan dengan sentuhan ringan ujung jarinya, ia
              membuka jendela dengan sekali sentak. Daun jendela berkeriut dan
              terbuka lebar. Katanya: ”Siapa pun di sana, kawinlah denganku.”
                 ”Malangnya, kita tak berada di sana ketika itu,” kata Maman Gen-
              deng pada nelayan lain di pagi yang juga lain. ”Katakan padaku, sebe-
              rapa jauh lagi aku sampai di Halimunda?”
                 ”Tak akan lama.”
                 Telah banyak orang mengatakan kata itu, tak akan lama, dan itu
              sama sekali tak menghiburnya sebab kenyataannya ia tak juga sampai.
              Ia terus berlayar dan berhenti di setiap perkampungan nelayan serta
              pelabuhan dan bertanya, apakah ini Halimunda. O bukan, teruslah ke
              timur, kata mereka. Semua berkata begitu dan ini membuatnya kehi-
              langan kepercayaan diri. Tiba-tiba ia merasa semua orang tengah mem-
              bohongi dirinya dalam satu persekongkolan dan sesungguhnya kota itu
              mungkin tak pernah ada. Halimunda tak lebih dari sebuah nama f ktif.
              Ia bertekad jika sekali lagi ia bertanya dan mereka mengatakan untuk
              terus ke timur, ia akan menonjok orang-orang itu dan menghentikan
              lelucon serta persekongkolan mereka.
                 Saat itulah ia melihat sebuah pelabuhan ikan dan deretan per kam-
              pungan nelayan. Ia segera berbelok menuju darat, dan meng ucapkan
              salam perpisahan kecil dengan pasangan ikan hiu yang terus menemani-
              nya dalam persahabatan yang ganjil. Ia menggigil dalam keadaan lelah
              dan putus asa, dan mulai kehilangan harapannya akan pertemuan
              de ngan Rengganis Sang Putri yang mengagumkan itu. Ia turun dan
              menemui seorang nelayan yang tampak sedang menarik-narik jala
              sepanjang pantai. Tangannya telah terkepal dan bersiap menonjoknya,
              lalu bertanya, apakah ini Halimunda?
                 ”Ya, ini Halimunda.”
                 Nelayan itu sungguh beruntung, sebab jika Maman Gendeng sampai
              melampiaskan semua kemarahan kepadanya, ia sama sekali tak akan
              pernah mampu melawan lelaki itu, yang oleh gurunya sendiri dipanggil
              sebagai pendekar penghabisan. Sementara itu Maman Gendeng senang
              bukan main, betapa perjalanan panjang itu kemudian membawanya ke
              kota itu. Halimunda sama sekali bukan nama omong kosong, ia kini
              telah sampai, mencium bau amisnya, dan bertemu dengan salah seorang

                                           116





        Cantik.indd   116                                                  1/19/12   2:33 PM
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128