Page 144 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 144

kan   tong-kantong pelarian seandainya mereka harus jadi buronan. Ia
                 meng  hubungi seorang pedagang bernama Bendo, yang telah di ban tunya
                 da lam penyelundupan kayu jati, untuk menyediakan bahan makanan
                 bagi keperluan gerilya, seandainya perang gerilya dibu tuh kan. Ia juga
                 menemui secara langsung bupati, walikota dan kepala polisi, mengata-
                 kan bahwa tanggal 14 Februari ada latihan perang, diikuti semua pra-
                 jurit Peta di Halimunda, dan tak seorang pun boleh mengganggu. Itu
                 pe san secara tak langsung bahwa mereka akan memberontak. Mata
                 dan telinganya dipasang dengan baik terhadap kemungkinan adanya
                 peng khianatan.
                    ”Dan hari ini,” katanya pada pukul setengah tiga hari pem be ron-
                 takan, ”adalah hari tersibuk bagi para penggali kubur.”
                    Pembukaan pemberontakan berjalan begitu cepat, diawali pe nem-
                 bakan ke markas Kenpetai, tentara Jepang, di Hotel Sakura. Tiga puluh
                 orang dieksekusi di lapangan bola, terdiri dari dua puluh satu orang
                 ten tara dan pegawai sipil Jepang, lima orang Indo-Belanda dan empat
                 orang Cina yang dicurigai membantu orang-orang Jepang. Mayat-mayat
                 itu diseret cepat menuju tempat pemakaman, dan di lemparkan begitu
                 saja di depan rumah penggali kubur.
                    Sambutan publik sangatlah tidak menggembirakan. Mereka lebih
                 suka mengurung diri di dalam rumah, mengetahui dengan pasti itu awal
                 dari satu teror yang lebih menakutkan: bantuan tentara Jepang akan
                 segera berdatangan ke kota itu dan menghabisi para pemberontak tanpa
                 sisa. Sebaliknya, para pemberontak menganggap itulah ke me nangan
                 mereka, dan tampak bersuka ria. Mereka menurunkan Hinomaru,
                 ben dera Jepang, dan menggantinya dengan bendera mereka sendiri.
                 Mereka berkeliling kota dengan truk dan meneriakkan slogan-slogan
                 kemerdekaan, diikuti nyanyian lagu-lagu perjuangan. Ketika senja da-
                 tang, tiba-tiba mereka menghilang seperti ditelan malam. Mereka tahu,
                 orang-orang Jepang telah mendengar pem be rontakan itu, dan bahkan
                 seluruh Jawa mungkin telah mengetahuinya, dan secepat pagi datang,
                 tentara bantuan sudah tiba. Itu malam terakhir mereka berkeliaran, dan
                 selanjutnya adalah gerilya.
                    ”Setelah segalanya,” kata Sang Shodancho, ”Kita harus me ning gal-
                 kan Halimunda sampai Jepang kalah.”

                                             137





        Cantik.indd   137                                                  1/19/12   2:33 PM
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149