Page 149 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 149

Di suatu pagi yang cerah, yang tak terlupakan sebab hari itu mereka
              akan berpesta, Sang Shodancho yang habis buang hajat di sebuah batu
              karang menemukan sebongkah mayat lelaki, terdampar dilemparkan
              ombak. Mayat itu sudah sedemikian bengkaknya seolah hendak mele-
              tus, meskipun tak memberikan bau yang menyengat. Ia hanya menge-
              na kan cawat. Bersama beberapa prajurit, ia menariknya ke pantai
              dan mengamati si mayat orang tenggelam. Ada bekas luka dalam di
              perut nya.
                 ”Itu sabetan sangkur,” kata Sang Shodancho. ”Ia dibunuh Jepang.”
                 ”Ia pemberontak dari daidan lain,” kata seorang prajurit.
                 ”Atau ia meniduri gundik Kaisar Hirohito.”
                 Tiba-tiba Sang Shodancho terdiam dan memandangi wajah mayat
              itu. Jelas ia pribumi. Wajahnya tirus seperti kurang makan, sebagaimana
              kebanyakan pribumi, licin tanpa janggut dan kumis. Tapi bukan itu
              yang membuatnya tertarik, melainkan bentuk mulutnya yang aneh. Ia
              akhirnya segera menyimpulkan, ”Lelaki ini mengulum sesuatu.” Dengan
              jari tangannya, ia mencoba membuka rahang mayat tersebut, dibantu
              seorang prajurit. Rahangnya sangat kaku sehingga agak menyulitkan,
              sebelum akhirnya terbuka.
                 ”Tak ada apa-apa,” kata si prajurit.
                 ”Tidak,” jawab Sang Shodancho. Ia merogoh mulut mayat tersebut
              dan mengeluarkan secarik kertas yang nyaris terkoyak-koyak oleh rem-
              besan air. ”Ia dibunuh karena ini,” kata Sang Shodancho lagi. Ia meng-
              hamparkan kertas tersebut di atas batu karang yang hangat. Tam paknya
              itu sebuah selebaran, dicetak dengan mesin stensil. Rembesan air laut
              yang masuk ke mulut si mayat membuat tintanya sedikit luntur, tapi
              Sang Shodancho masih bisa membacanya dengan jalas, sebab tulisan
              itu sendiri begitu pendek dan teramat terang. Semua orang tampak
              ber debar-debar, berharap itu pesan besar, sebab tak mungkin seseorang
              dibunuh karena membawa segepok selebaran tanpa arti. Dengan jari-
              jemari yang bergetar, bukan karena hawa dingin atau kelaparan, Sang
              Shodancho mengangkat kertas tersebut dengan air mata bercucuran
              menambah kebingungan para prajuritnya. Mereka belum juga bertanya
              ketika ia berkata lebih dahulu, ”Tanggal berapakah sekarang?” tanyanya.
                 ”23 September.”

                                           142





        Cantik.indd   142                                                  1/19/12   2:33 PM
   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153   154