Page 156 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 156

”Ya,” balas Sang Shodancho, ”Jika Ratu Belanda dan Presiden Re-
                 publik Indonesia mengizinkan.”
                    Mereka kemudian berpisah di tangga kapal. Sang Shodancho masih
                 ber diri di bibir dok sementara tangga telah diangkat, dan sang koman-
                 dan berdiri di pagar kapal yang tengah mengangkat jangkar. Ketika
                 gemu ruh mesin mulai terdengar dan kapal mulai bergoyang, keduanya
                 saling melambaikan tangan.
                    ”Sayonara,” kata Shodancho akhirnya.
                    Akhir perang ternyata memberi kesunyian tertentu seperti orang-
                 orang yang tiba-tiba pensiun. Selama beberapa hari itu Sang Shodancho
                 menghabiskan waktu di bekas markas shodannya sendiri, di daerah
                 sepanjang pantai Halimunda. Sehari-hari ia hanya menyabit rumput
                 memberi makan keledai yang ditungganginya saat menuju pelabuhan,
                 atau memancing ikan di sungai kecil tak jauh dari markas shodan.
                 Sam pai akhirnya ia mengumpulkan para sahabatnya, dan berkata pada
                 mereka bahwa ia akan kembali ke hutan, sampai batas waktu yang tak
                 ditentukan.
                    ”Apa yang akan kau lakukan?” tanya Mayor Sadrah, kini ia penguasa
                 militer kota, ”Tak ada lagi gerilya.”
                    Dengan tenang Sang Shodancho menjawab, ”Tak ada yang harus
                 dikerjakan tentara di masa damai. Maka aku akan berdagang saja di
                 tengah hutan.”
                    Kenyataannya, itulah memang yang ia lakukan. Ia menghubungi
                 Bendo, pedagang yang pernah dilindunginya menyelundupkan kayu
                 jati dan sebagai balasannya membantu logistik selama gerilya. Bersama
                 seorang pedagang Cina yang dibawa Bendo, Sang Shodancho memulai
                 bisnis penyelundupan lebih banyak barang melalui hutan tanjung. Sete-
                 lah kesepakatan dicapai, ia bersiap untuk kembali ke hutan, bersama
                 tiga puluh dua prajurit paling setia yang akan menemaninya dalam
                 urus an yang baru.
                    ”Kini, musuh kita satu-satunya adalah para perampok,” katanya pada
                 ketiga puluh dua prajurit tersebut.
                    Itu benar. Semua orang di kota itu, sipil maupun militer, me ngetahui
                 belaka semua aktivitas penyelundupan mereka. Segala hal keluar
                 masuk melalui pelabuhan kecil yang dibangun di ujung tanjung: tivi,

                                             149





        Cantik.indd   149                                                  1/19/12   2:33 PM
   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161