Page 278 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 278

menggigitnya. Tapi kaki Kliwon bergerak lebih cepat dan tepat serta
                 juga keras terayun me nendang menghantam rahang si anjing, mem-
                 buatnya terpelanting sejauh satu setengah meter, kemudian ia meronta
                 sejenak sebelum tergeletak tak bergerak dengan buih di mulutnya.
                 Tampaknya mati dan rabies.
                    Kini ia harus menghadapi gadis anak sekolah itu yang masih men-
                 de kapnya demikian erat. Sejak ia berpelukan dengan mesra dan bahkan
                 berciuman begitu liar di depan stasiun kereta api bersama Alamanda
                 di bawah pohon ketapang, ia belum pernah memeluk gadis mana pun
                 lagi. Saat itu ia memang telah menanggalkan segala reputasinya sebagai
                 seorang penakluk perempuan meskipun beberapa gadis dan ibu-ibu
                 muda masih mengerlingkan matanya menanti rayuan dan godaannya.
                 Ia telah mencurahkan banyak waktunya untuk Partai dan bekerja dan
                 ia tak lagi punya waktu untuk gadis-gadis cantik tersebut. Tapi kini
                 ga dis itu memeluk erat dirinya dan tanpa sadar entah sejak kapan ia
                 pun melingkarkan tangannya balas memeluk, meskipun ia berani ber-
                 sumpah itu ia lakukan sebagai usaha tanpa sadar melindungi dirinya
                 dari serangan anjing rabies itu.
                    Betapa dekat dan rapatnya mereka sehingga Kamerad Kliwon bisa
                 merasakan dada gadis itu tertekan kuat di dadanya, begitu lembut
                 dan hangat, dan ujung-ujung rambutnya terayun-ayun dipermainkan
                 angin menampar wajahnya, dan ia bisa memandang dahi gadis yang
                 membenamkan mukanya di bahu laki-laki itu. Ketika teman-teman si
                 gadis berdatangan dengan penuh kelegaan, secara hati-hati Kamerad
                 Kliwon mendorong gadis itu menjauhkannya dari dirinya, dan pada
                 saat itulah ia bisa melihat satu kecantikan yang unik, satu kecantikan
                 para putri dan bidadari yang lembut dan mistis, tradisional, kuno, alami,
                 dengan rambut yang dikepang dua, dengan mata yang terpejam itu
                 dihiasi bulu mata lentik, dengan hidung mencuat ramping berhiaskan
                 dua cuping bagai dipahat demikian halus, dengan bibir yang merengut
                 kecil, dengan pipi berisi, dan pada saat itulah ia segera menyadari gadis
                 tersebut telah tak sadarkan diri, mungkin sejak pertama ia mendekap
                 erat dirinya.
                    Bersama teman-teman si gadis ia mendudukkan gadis semaput itu
                 di kursi dan mencoba membuatnya tersadar. Tapi usaha mereka tam-

                                             271





        Cantik.indd   271                                                  1/19/12   2:33 PM
   273   274   275   276   277   278   279   280   281   282   283