Page 295 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 295

seolah mereka berada dalam lautan gerilya. Ia menghabiskan satu jam
              berbincang-bincang dengan Adinda hanya dalam pembicaraan yang
              mem bosankan, tak mengobati apa pun bagi jiwanya yang lelah, dan
              ketika ia pulang ia terperosok di kursi di depan gubuk, menatap langit
              senja di atas permukaan air laut.
                 ”Seseorang mesti menodongkan senjata ke dahimu,” kata Adinda
              sebelum ia pulang. ”Agar kau mau memikirkan dirimu sendiri.”
                 Itu adalah langit senja yang sama sebagaimana biasanya ia lihat, tapi
              hari itu ia merasakannya lain. Di masa lalu ia selalu me nge nangnya se-
              bagai senja yang indah sementara ia duduk di pasir ber sama Alamanda,
              dan akan selalu tampak indah bersama gadis mana pun yang berkencan
              dengannya. Namun langit di senja hari itu begitu dingin menusuk,
              sunyi dan menyedihkan, seolah cermin bagi hatinya yang mendadak
              terasa kerontang. Ia semakin larut di temani sebatang rokok kretek,
              ber tanya-tanya apakah revolusi sungguh-sungguh bisa terjadi, apakah
              ada kemungkinan bahwa tak ada manusia yang menindas manusia lain.
                 Ia pernah mendengar di masa lalu yang jauh seorang guru agama di
              surau samping rumahnya bercerita tentang sorga, tentang sungai susu
              yang mengalir di bawah kaki, tentang bidadari-bidadari cantik yang
              selalu perawan dan boleh ditiduri siapa pun, tentang segala hal yang
              boleh diminta tanpa satu larangan. Semua itu tampak begitu indah,
              sampai-sampai ia merasa terlalu indah untuk dipercayai. Ia merasa
              tak membutuhkan keadaan yang terlampau muluk-muluk se perti itu,
              cukup bahwa semua orang memperoleh jumlah beras yang sama, atau
              keinginan terakhir mungkin jauh lebih muluk-muluk lagi, pikirnya.
                 Ia membutuhkan Alamanda, atau kekasih semacam itu, tempat di
              mana ia ingin berbagi semua yang ia pikirkan tanpa takut bahwa ia
              mengatakan hal yang paling rahasia sekalipun, karena kekasih paling
              setia adalah kotak rahasia yang paling aman. Tapi ia telah kehilangan
              gadis itu, gadis yang telah membuat senja yang monoton dan sendu
              selalu menjadi tampak menyenangkan seolah itu adalah kartu pos yang
              dikirim seseorang dari negeri jauh entah siapa. Ia kadang bertanya-tanya
              juga apakah sudah merupakan nasib para revolusioner untuk menjalani
              kehidupan yang sunyi dengan kepala yang melulu dijejali gagasan-
              gagasan tentang revolusi. Beginilah mungkin ia akan menjalani hidup:

                                           288





        Cantik.indd   288                                                  1/19/12   2:33 PM
   290   291   292   293   294   295   296   297   298   299   300