Page 325 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 325

”Besok pagi aku akan melihatmu mati dieksekusi.”
                 Ia merencanakan tidak dalam satu kali tembakan eksekusi. Ia ingin
              melihatnya mati perlahan-lahan, dengan kuku jari dipreteli, dengan
              kulit kepala dikelupas, mata dicungkil, lidah dipotong. Lelaki itu akan
              sangat menderita, dan Sang Shodancho yang dirasuki dendam mem-
              busuk tersenyum jahat.
                 Tapi bahkan Kamerad Kliwon tetap tak bereaksi dalam satu kenyata-
              an yang ajaib seolah ia tak peduli tengah menghadapi maut yang demiki-
              an mengerikan, dan itu menjengkelkan Sang Shodancho. Di atas dipan,
              mayat hidup itu tampak demikian penuh wibawa, penuh keka gum an diri
              bagaikan ia akan mati sebagai syuhada, dan penuh kekaguman terhadap
              jalan hidup yang pernah dipilihnya serta tak pernah menyesal meskipun
              ia memperoleh akhir yang tak menyenangkan seperti ini.
                 Ada jarak yang demikian lebar antara kedua orang itu. Antara
              sese orang yang memiliki kekuasaan untuk membuat yang lain mati,
              de ngan seorang lelaki yang menantikan jam demi jam kematiannya.
              Yang pertama dibuat gelisah oleh kekuasaannya, sementara yang kedua
              dibuat tenang oleh nasibnya.
                 Kenyataannya Kamerad Kliwon memang tak memikirkan Sang
              Shodancho yang masih berdiri di dekat pintu, yang perlahan-lahan
              meletakkan apa yang dibawanya di atas kursi di pojok ruangan. Kame-
              rad Kliwon larut dalam nostalgia-nostalgia yang membawanya pada
              segala kenangan atas kota yang akan segera ditinggalkan. Be tapa mele-
              lahkannya revolusi, ia berkata pada diri sendiri, dan satu-satunya hal
              yang menyenangkan adalah bahwa aku akan me ning galkan itu semua,
              meninggalkan seluruh tugas tanpa harus menjadi seorang reaksioner
              atau kontrarevolusi. Memang benar bahwa ia sendiri telah mengecap
              banyak orang-orang pengecut sebagai reak sioner, sebagai para kontra-
              revolusioner, tapi kadang-kadang ia merasa selelah orang-orang itu dan
              bertahan dalam kegilaan revolusi hanya karena ia tak ingin menjadi
              bagian dari orang-orang busuk seperti mereka. Dan demikianlah, di
              saat-saat penuh keputusasaan, ia sering berharap bisa mati.
                 Siapa pun yang melakukan kudeta, Kamerad Kliwon layak berterima
              kasih kepada mereka. Sebab besok pagi ia akan mati di depan sederet
              regu tembak, dan segala yang melelahkan itu akan segera ia tinggalkan.

                                           318





        Cantik.indd   318                                                  1/19/12   2:33 PM
   320   321   322   323   324   325   326   327   328   329   330