Page 392 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 392

annya dengan Alamanda. Kedua anak sebelumnya hilang secara tiba-tiba
                 sejak dalam kandungan, meskipun ia telah memberi nama yang sama
                 untuk mereka. Anak ketiganya lahir sehat, meskipun ke mu dian si gadis
                 kecil selalu mengeluh bahwa ada biji kedondong di teng gorokannya.
                    ”Kudengar Rengganis Si Cantik diperkosa seekor anjing?” ta nya nya.
                    ”Ada banyak anjing di Halimunda,” kata Maman Gendeng.
                    Hal ini membuat Sang Shodancho terkejut. Memang benar ada ba-
                 nyak anjing di kota itu, tapi tak seorang pun ia dengar me nge luh kan nya.
                    ”Jika benar apa yang terjadi di toilet sekolah itu, aku punya cu kup
                 banyak racun anjing,” sang preman terus melanjutkan tanpa peduli.
                 ”Seorang pelacur mati karena rabies dua tahun lalu. Tak perlu meng-
                 khawatirkan anak gadisku, ada lebih banyak alasan untuk mengirim
                 mereka ke rumah orang-orang Batak pemakan anjing.”
                    Ke mana pun arah bicaranya, ketiga teman bermain kartunya segera
                 menyadari itu ditujukan untuk Sang Shodancho sendiri. Anjing dipeli-
                 hara hampir di setiap rumah, di kota dan desa-desa di seluruh wilayah
                 Halimunda, dari berbagai ras. Kebanyakan jenis ajak atau peranakan-
                 nya yang mulai dikembangbiakkan sejak Sang Shodancho memulai
                 kebiasaan berburu babi. Di masa lalu, ketika Mama Rengganis datang ke
                 hutan berkabut yang kelak menjadi kota itu, semua orang tahu bahwa
                 ia ditemani seekor anjing. Tapi tak seorang pun pernah memberi saran
                 untuk memelihara anjing, kecuali Sang Shodancho ketika ia berhasil
                 memberantas babi.
                    ”Kuharap itu hanya desas-desus,” kata Sang Shodancho akhirnya.
                    ”Atau kekonyolan lain anak gadisku,” kata sang preman ironik. Ia
                 bercerita tentang dukun-dukun yang pernah ia datangi untuk mem-
                 buat anak gadisnya sebagaimana gadis kebanyakan. Ada yang bilang ia
                 kerasukan roh jahat. Yang lain menunjukkan bahwa rohnya tak lagi mau
                 tumbuh. Ia bocah enam tahun di tubuh gadis enam belas tahun. Apa
                 pun yang mereka katakan, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya
                 sia-sia, ia berkata dengan putus asa. ”Mereka meng anggapnya tak waras
                 dan kau tahu, aku harus memukul tiga orang guru agar ia diterima di
                 sekolah.” Lelaki malang itu tampak jadi sedikit cengeng dan sentimentil,
                 dan karena itu ia mulai ke hilangan seleranya untuk melanjutkan per-
                 mainan kartu tersebut. ”Apakah kalian akan menertawakannya pula?”

                                             385





        Cantik.indd   385                                                  1/19/12   2:33 PM
   387   388   389   390   391   392   393   394   395   396   397