Page 452 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 452

nyawanya. Ia pernah menjadi sahabat lelaki itu, terutama selama di
                 meja kartu truf, tapi bagaimanapun ia ber nafsu membunuhnya suatu
                 ketika. Sekaranglah waktunya, dan tutup telinga atas apa pun yang
                 di katakan Alamanda.
                    ”Lakukanlah dan tak usah kembali,” kata Alamanda akhirnya, ”kami
                 bertiga akan menjadi janda dan segala sesuatunya menjadi lebih adil.”
                    ”Adinda masih memiliki Krisan.”
                    ”Bunuh anak itu jika kau cemburu.”
                    Sang Shodancho memimpin sendiri operasi pemberantasan para pre-
                 man begundal itu. Ia mengumpulkan semua prajurit, dan mem per oleh
                 pasukan tambahan dari pos-pos militer terdekat. Ia memimpin rapat
                 darurat dan membuat peta di mana kini begundal-begundal itu membuat
                 kerusuhan, serta bagaimana cara mereka akan dihabisi. Sang Shodancho
                 sendiri kini sesungguhnya sudah cukup tua untuk beroperasi di lapangan,
                 ia tengah menunggu surat keputusan pensiunnya, namun ia tampak
                 bersemangat, meskipun juga sedikit bijak. ”Kita tak akan melakukannya
                 seperti ketika membantai orang-orang komunis,” ia berkata, ”semua yang
                 terbunuh harus di ma suk kan karung.”
                    Maka satu buah truk datang dengan muatan penuh karung ko song.
                    Operasi itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan
                 kepanikan massal penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pa kaian
                 sipil bersenjata, juga para penembak gelap, menuju kantong-kantong
                 para begundal. Mereka mengidentif kasikan setiap preman sebagai
                 orang-orang bertato, peminum, dan terutama yang tertangkap basah
                 sedang membuat keonaran maupun membunuh anjing, dan me reka
                 semua akan ditembak di tempat sebelum dimasukkan ke dalam karung
                 dan melemparkannya ke selokan atau digeletakkan begitu saja di pinggir
                 jalan. Penduduk yang menemukannya akan me ngubur mereka bersama
                 karung-karungnya: itu jauh lebih praktis daripada membalut mereka
                 dengan kain kafan.
                    ”Mereka terlalu laknat untuk memperoleh kain kafan,” kata Sang
                 Shodancho, ”apalagi tanah pemakaman.”
                    Secepat pagi datang, pada hari pertama, separuh preman yang di-
                 miliki kota itu telah lenyap, ditelan karung-karung yang diikat dengan
                 tali plastik. Mereka bergeletakan di sepanjang jalan, terapung di sungai,

                                             445





        Cantik.indd   445                                                  1/19/12   2:33 PM
   447   448   449   450   451   452   453   454   455   456   457