Page 56 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 56
nama Ma Gedik di perkampungan daerah rawa-rawa,” katanya. ”Sebab
esok pagi aku akan kawin dengannya.”
”Jangan bercanda, Nona,” kata Mr. Willie.
”Maka tertawalah jika kau anggap itu bercanda.”
”Tapi bahkan para pastor sudah menghilang dan gereja roboh oleh
bom,” kata
Mr. Willie lagi.
”Masih ada penghulu.”
”Nona bukan seorang Muslim, bukan?”
”Juga bukan Katolik, sudah lama.”
Itulah awal dari perkawinan antara Dewi Ayu dengan Ma Gedik.
Seorang lelaki tua yang menyedihkan mengawini seorang gadis cantik:
berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok kota, dan orang-
orang Jepang yang mulai berdatangan bahkan mempergunjingkannya.
Sementara orang-orang Belanda yang tak sempat melarikan diri, me-
ngirimkan surat melalui pembantu-pembantu mereka, menanyakan
kebenaran berita itu. Beberapa di antaranya mulai mengungkit kembali
skandal memalukan ayah dan ibunya.
”Apa yang akan terjadi jika aku tak mau kawin denganmu?” tanya
Ma Gedik
akhirnya, beberapa saat sebelum penghulu datang.
”Kau akan jadi santapan ajak.”
”Berikan aku pada mereka.”
”Dan bukit
Ma Iyang akan diratakan.”
Itu ancaman yang lebih menakutkan, maka tanpa berdaya ia akhir-
nya kawin dengan
Dewi Ayu di pagi itu, sekitar pukul sembilan ketika
tentara Jepang memulai upacara pertama mereka menandai pendudukan
kota. Tak ada seorang pun diundang untuk merayakan perkawinan
mereka, kecuali jongos dan jawara rumahnya. Mr. Willie menjadi saksi
perkawinan, dan
selama itu Ma Gedik lebih banyak menggigil dan
mengucapkan
banyak kesalahan saat bersumpah. Ia akhirnya ambruk
tak sadarkan diri, tak lama setelah penghulu mengesahkan perkawinan
ia menyadari telah menjadi suami Dewi Ayu tanpa per-
mereka, ketika
nah mengetahui
apa yang terjadi.
”Lelaki yang malang,” kata Dewi Ayu. ”Seharusnya ia kakekku se-
andainya Ted tak jadikan Ma Iyang gundiknya.”
Ketika Ma Gedik tersadar menjelang sore, ia tak mau menyentuh
49