Page 63 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 63

dalam tahanan. Kini saatnya pergi, sebab salah satu truk itu berhenti
              di depan rumahnya, dan dua orang prajurit turun de ngan bayonet di
              tangan, mendaki tangga menuju beranda tempat ia duduk menanti.
                 ”Aku mengenal kalian,” kata Dewi Ayu, ”tukang foto di tikungan
              jalan.”
                 ”Pekerjaan yang menyenangkan, kami punya foto seluruh orang
              Belanda di Halimunda,” balas salah satu prajurit.
                 ”Bersiaplah, Nona.” Prajurit yang lain berkata.
                 ”Nyonya,” kata Dewi Ayu. ”Aku seorang janda.”
                 Ia meminta waktu untuk bertemu sejenak dengan seluruh pelayan
              rumahnya. Mereka tampaknya juga tahu bahwa majikannya akan pergi,
              namun itu tak cukup untuk tidak membuat mereka bersedih. Ia melihat
              salah satu tukang masak itu, Inah, menangis. Ia pemilik dapur sejati,
              neneknya mempercayakan semua jamuan tamu keluarga kepadanya.
              Dewi Ayu tak akan pernah menikmati rijsttafel-nya lagi, mungkin sela-
              ma nya. Tukang masak yang baik selalu merupakan kekayaan keluarga
              yang sangat penting, namun kini keluarga itu sen diri telah lenyap.
              Satu-satunya yang tersisa akan pergi jadi ta hanan perang. Dewi Ayu
              me ngenang semuanya ketika ia mem berikan kalung emas dari dalam
              amplop kepadanya. Ketika kecil Inah mengajarinya memasak, membiar-
              kannya menggerus bumbu, dan mengipasi bara api di dalam tungku. Ia
              mengalami guncangan kesedihan yang lebih hebat daripada ketika ia
              mendengar nenek atau kakeknya mati.
                 Di samping tukang masak, berdiri seorang jongos, anak Inah. Muin,
              begitu namanya. Ia selalu berpakaian lebih rapi dari siapa pun, bahkan
              orang-orang Belanda kagum akan hal itu. Ia mengenakan blangkon,
              dan tugasnya berpusing di sekitar rumah, paling sibuk di waktu makan
              ketika ia harus membereskan meja. Ted Stammler meng ajarinya bagai-
              mana merawat gramofon dan piringan hitam, sering menyuruhnya
              meng ganti dan mencari lagu. Ia selalu senang melakukannya, memutar
              piringan dan memindahkan jarum, seolah tak ada orang lain yang bisa
              me lakukannya. Begitu sering ia berurusan dengan gramofon, membuat-
              nya mengenal banyak lagu klasik, dan ia menyukainya begitu rupa.
                 ”Kau boleh ambil semua itu,” kata Dewi Ayu kepadanya, sambil
              me nunjuk rak piringan hitam dan gramofon.

                                           56





        Cantik.indd   56                                                   1/19/12   2:33 PM
   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68