Page 64 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 64

”Tidak mungkin,” kata Muin. ”Itu milik Tuan.”
                    ”Percayalah, orang mati tak mendengarkan musik.”
                    Bertahun-tahun setelah perang berakhir dan republik berdiri, ia
                 me lihat Muin di depan pasar. Waktu itu hampir tak tersisa keluarga-
                 keluarga Belanda, dan tak ada orang yang cukup kaya untuk memiliki
                 ba nyak jongos di rumah. Ia tahu Muin tak bisa melakukan apa pun
                 lagi selain membereskan meja dan memutar gramofon. Ia melihanya
                 di depan pasar tengah memutar gramofon dengan piringan hitam pe-
                 ninggalan kakeknya, sementara seekor monyet yang tampaknya terlatih
                 berlalu-lalang di depannya dengan gerobak kecil atau payung dan me-
                 nari bersama suara musik. Sirkus monyet dengan lagu pengiring Sym-
                 phony Nomor 9 dalam D Minor, dan orang-orang me lemparkan uang
                 recehan ke dalam blangkonnya yang digeletakkan terbalik. Dewi Ayu
                 hanya melihatnya dari kejauhan, tersenyum untuk nasib baiknya.
                    Pekerjaannya yang lain adalah mengantar surat: waktu itu belum ada
                 telepon di rumah, dan yang dimaksud dengan surat adalah papan sabak
                 ganda. Ia sering berkirim desas-desus dengan teman-teman sekolahnya,
                 menulis di sabak sebelah kanan. Muin akan berlari ke ru mah temannya
                 membawa sabak tersebut, dan sementara menunggu balasan di sabak se-
                 belah kiri, ia akan disuguhi minuman dingin serta kue-kue yang sangat
                 ia sukai. Ia pulang tak hanya membawa sabak, namun desas-desus lain
                 dari para pelayan. Ia menikmati pekerjaannya, dan Dewi Ayu nyaris
                 se tiap hari mengirimnya. Hanya sekali, dan itu sabaknya yang terakhir,
                 ia tak menyuruh Muin, yaitu ketika Mr. Willie dan seorang jawara
                 mem bawa pesannya ke gubuk Ma Gedik.
                    ”Sabak itu juga buatmu,” katanya.
                    Lalu ia menghadapi si tukang cuci, penguasa sumur, dan sabun ta-
                 ngan, Supi. Ketika kecil perempuan tua itu selalu menemaninya tidur,
                 me nyanyikan Nina Bobo, dan dongeng Lutung Kasarung. Suaminya
                 bekerja sebagai tukang kebun, dengan golok di pinggang dan tangan
                 meng genggam arit. Ia sering pulang secara tiba-tiba de ngan bawaan yang
                 mengejutkan: anak kucing hutan, telur ular, biawak, namun sese kali
                 dengan bawaan menyenangkan: buah sirsak setengah matang, setan  dan
                 pisang raja, sekantong manggis.
                    Ada beberapa jawara, begitulah mereka menyebutnya untuk para

                                              57





        Cantik.indd   57                                                   1/19/12   2:33 PM
   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69