Page 67 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 67

Ia mengenali gadis konyol itu, namanya Jenny, temannya berenang
              waktu kecil. Itu waktu yang menyenangkan, dan ia bertanya-tanya
              apakah selama ditahan mereka diperbolehkan berenang atau tidak.
              Kini teluk dengan ombak yang lembut itu pasti dipenuhi bocah-bocah
              pribumi, yang tubuhnya penuh daki dan selalu bertelanjang kaki, dan
              menyingkir jika sinyo-sinyo dan noni-noni berenang. Ia punya bekas
              ban dalam mobil dan sering berenang mem per gu na kannya, bahkan
              sampai beberapa minggu lalu sebelum kegaduhan perang. Di pinggir
              pantai ia akan melihat beberapa pemuda, dan bahkan lelaki-lelaki tua
              dengan pipa tembakau di mulut, duduk di pa sir di bawah payung, berada
              di sana lebih untuk melihat gadis-gadis dalam pakaian renang. Ia juga
              tahu apa yang mereka lakukan di kamar ganti. Apa yang disebut kamar
              ganti sebenarnya merupakan sumur umum di pinggir pantai, meskipun
              tempat lelaki dan pe rem puan terpisah, dindingnya hanya terbuat dari
              anyaman bambu. Ia sering memergoki mata yang mengintip dari celah
              anyaman. Ia akan balas mengintip dan berteriak, ”Oh Tuhan, kecil se-
              kali punyamu!” Mereka biasanya akan sangat malu dan segera berlalu
              dari kamar ganti.
                 Kadang-kadang mereka akan digemparkan oleh kemunculan sirip
              ikan hiu. Tapi tak pernah seorang pun diserangnya. Pantai Halimunda
              ter lalu dangkal bagi ikan galak itu untuk mendekat, dan mereka biasa-
              nya hanya berenang di lepas pantai. Kadang hiu kecil terdampar atau
              ter tangkap jala nelayan, tapi mereka selalu dilepaskan kembali sebab
              nelayan-nelayan itu tak pernah berani menangkap mereka. Kualat,
              mereka bilang. Ikan hiu bukan satu-satunya binatang yang mereka
              takuti saat berenang. Mereka tak pernah berani berenang di daerah
              muara, sebab di sana hidup buaya, dan tak tanggung-tang gung mereka
              doyan makan manusia.
                 ”Berdoalah kita tak berjumpa buaya,” kata seorang perempuan se-
              tengah baya dengan seorang bayi di pangkuannya.
                 Itu beralasan. Untuk mencapai penjara di tengah delta, mereka ha-
              rus menyeberangi sungai. Setelah tamasya yang tak menyenangkan di
              atas truk, kini mereka berhenti di pinggir sungai. Tentara-tentara Jepang
              tampak berkeliaran di sepanjang pesisir dan jalan masuk, meneriaki
              perempuan-perempuan yang turun dari truk-truk dengan bahasa mereka

                                           60





        Cantik.indd   60                                                   1/19/12   2:33 PM
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72