Page 70 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 70

seperti apel masak. Ia memungutinya dan mengembalikannya ke dalam
                 kaleng. Kini mereka tampak gemuk-gemuk.
                    Dengan api unggun, ia merebus semua lintah di dalam kaleng, de-
                 ngan air yang diambil dari sungai. Tanpa bumbu, ia segera membawanya
                 pulang ke aula tempat tinggalnya. ”Kita punya makan malam,” katanya
                 pada beberapa perempuan dengan anak-anak mereka yang tinggal di
                 sekitarnya, bertetangga. Tak seorang pun tertarik memakan lintah, dan
                 seorang ibu tampaknya mual-mual dengan hidangan mengerikan seperti
                 itu. ”Bukan lintah yang kita makan, tapi darah sapi,” kata Dewi Ayu lagi
                 menjelaskan. Ia membelah lintah-lintah tersebut dengan pisau kecil,
                 mengeluarkan gumpalan darah sapi di dalamnya, menusuknya dengan
                 ujung pisau dan me lahapnya. Masih tak seorang pun berniat mengikuti
                 selera primitifnya, sampai ketika malam datang dan rasa lapar tak lagi
                 tertahankan. Mereka mulai mencobanya. Rasanya memang tawar, tapi
                 lumayan mengenyangkan.
                    ”Kita tak akan kelaparan,” kata Dewi Ayu. ”Selain lintah, masih
                 ada tokek, cicak dan tikus.”
                    ”Terima kasih,” jawab mereka segera.
                    Malam pertama itu sungguh-sungguh merupakan horor yang me-
                 nge ri kan. Cahaya menghilang begitu cepat sebagaimana seharusnya
                 di negeri tropis. Tak ada listrik di dalam tahanan, tapi hampir semua
                 orang membawa lilin sehingga nyala kecil memenuhi ruangan dan din-
                 ding dipenuhi bayangan yang bergoyang-goyang membuat banyak anak
                 kecil ketakutan. Mereka berbaring di lantai beralaskan matras, tampak
                 menyedihkan, dan tak pernah sungguh-sungguh memperoleh tidur yang
                 nyenyak. Tikus-tikus menyerang mereka di malam hari, dan nyamuk
                 berdengung-dengung dari telinga yang satu ke telinga yang lain, dan
                 codot beterbangan silang-menyilang. Hal ini diperparah oleh kunjungan
                 mendadak tentara-tentara Jepang itu untuk me lakukan pemeriksaan
                 barang-barang bawaan. Mereka mencari orang yang masih menyem-
                 bunyikan uang dan perhiasan. Pagi datang tan pa menjanjikan apa pun.
                    Bloedenkamp dipenuhi sekitar lima ribu perempuan dan anak-anak,
                 entah dari mana saja orang-orang Jepang itu mengumpulkan me reka
                 semua, yang pasti tak semuanya orang Halimunda. Satu-satunya harap-
                 an datang dari seorang perempuan peramal kartu, yang memberitahu

                                              63





        Cantik.indd   63                                                   1/19/12   2:33 PM
   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75