Page 74 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 74

tahu ada obat-obatan untuk prajurit-prajurit itu. Maka ia bilang pada
                 Ola untuk pergi menemui Komandan Kamp dan meminta obat serta
                 makanan. Ola merinding ketakutan harus berurusan dengan orang-
                 orang Jepang.
                    ”Pergi atau ibumu mati,” kata Dewi Ayu.
                    Ia akhirnya pergi sementara Dewi Ayu mencoba mengompres perem-
                 puan sakit itu dan menenangkan si kecil adiknya Ola. Ia harus menunggu
                 sekitar sepuluh menit sampai Ola kembali tanpa obat, sebaliknya, ia
                 menangis lebih kencang. ”Biarlah ia mati,” katanya sambil sesenggukan.
                 ”Apa kau bilang?” tanya Dewi Ayu. Ola menggeleng dengan lemah sam-
                 bil melap air matanya dengan ujung lengan baju. ”Tak mungkin,” katanya
                 pendek. ”Komandan itu mau memberiku obat jika aku tidur dengannya.”
                    ”Biar kutemui sendiri,” katanya dengan geram. Dewi Ayu menemui
                 Komandan Kamp di kantornya. Masuk begitu saja tanpa mengetuk pin tu.
                 Sang Komandan tengah duduk di kursinya, menghadapi kopi dingin di
                 atas meja dan radio yang mendengung tak menyiarkan apa pun. Lelaki itu
                 menoleh dan terkejut dengan kelancangan tersebut, wajahnya meman-
                 carkan kemarahan orang yang sesungguh-sungguhnya. Namun sebelum
                 ia meledak marah, Dewi Ayu telah melangkah berdiri di hadapannya
                 hanya terpisah oleh meja. ”Aku gantikan gadis yang tadi, Komandan.
                 Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!”
                    ”Obat dan dokter?” Ia telah mengenal beberapa kalimat Melayu.
                 Ke marahannya menguap demi memperoleh anugerah luar biasa ini,
                 di sore yang membosankan. Gadis ini sangat cantik, masih berumur
                 tujuh atau delapan belas tahun, mungkin masih perawan, memberikan
                 tubuhnya untuk seorang lelaki tua hanya untuk obat demam dan dokter.
                 Ia tersenyum, begitu licik dan bengis, merasa dirinya sebagai lelaki tua
                 yang sangat beruntung. Ia berjalan mengitari meja, se mentara Dewi
                 Ayu menantinya dengan ketenangan karakternya. Sang Komandan
                 berdiri di sampingnya, meraba wajahnya dalam satu sentuhan, jari-
                 jari nya merayap bagai seekor cicak pada hidungnya, pada bibirnya, di
                 dagunya ia berhenti sejenak untuk mengangkat wajahnya lebih tinggi.
                 Jari-jarinya meneruskan perjalanan, menuruni lehernya dengan sapuan
                 tangan kasar yang terlalu sering meng genggam samurai, pada lekukan
                 tulangnya, dan terus sampai lingkar leher gaunnya.

                                              67





        Cantik.indd   67                                                   1/19/12   2:33 PM
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79