Page 173 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 173
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
pedal yang sedang berayun di bawah. aku harus mengayuhnya
sekuat mungkin agar pedal itu bisa kembali lagi ke atas
dengan sisa tenaga kepada kakiku. Sementara itu aku harus
menjaga keseimbangan sepeda sirkus ini agar jangan jatuh
dan terlindas truk-truk besar di kanan-kiriku. aku kecil dan
sendirian. Ke mana ayah, ke mana Ibu?
Ibu merasa tidak lucu bahwa ayah menamai ayam jantan
kesayangannya dengan Mordekhai. “Itu nama nabi,” kata Ibu.
Menurut ayah Mordekhai bukan nabi, melainkan pegawai
keuangan yang jujur. Seperti ayah. Setiap pagi Mordekhai
mengantar ayah sampai gerbang kompleks dan setiap siang
menjemput ayah di tempat yang sama. ayam jantan itu sangat
istimewa. ayah sangat mencintai Mordekhai dan Mordekhai
sangat mencintai ayah. ayah sayang Mordekhai, Mordekhai
sayang ayah. apa Mordekhai pinta, ayah memberinya. Suatu
hari, entah mengapa, ayah kehilangan keseimbangan dan ter-
jerembab. Ia menimpa Mordekhai dan ayam jantan malang itu
langsung tewas. Ibu berkata itu tulah karena ayah memain-
mainkan nama nabi. ayah sangat sedih, tapi bertahan bahwa
Mordekhai itu bukan nabi, melainkan pegawai keuangan yang
jujur. Bukan! Bukan! ayah menangis. Ia menangis tersedu-
sedu seperti bocah yang bersalah dan kehilangan. Kakinya
menjejak-jejak. ayah menangis begitu menyedihkan. ataukah
aku yang menangis.
aku terbangun dan mendapati diriku terisak-isak. aku
tersadar dalam rasa sedih yang tak kuketahui alasannya.
Telah tiga pekan demamku tidak betul-betul hilang. Selama
itu mimpi-mimpi sakit panas menghampiri tidurku dan
membangunkan aku dalam kesadaran yang mengerikan; yaitu
bahwa aku merasa kosong. Betapa menakutkannya hidup jika
167
Enrico_koreksi2.indd 167 1/24/12 3:03:56 PM