Page 215 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 215
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
kembali. “Ya. Saya berdosa dong. Tapi bukan dengan konsep
dosa yang kamu bayangkan dalam pertanyaanmu tadi.”
Tak lama kemudian aku mendapati kami berdua telah
berpeluk-pelukan lagi.
“Seks itu selalu problematis, Sayang,” bisiknya. “lebih baik
kita mengakuinya.” Ia mencium dan berkata nakal, “Sejujurnya,
menurutku seks itu tidak pernah sakral. Hanya pastor zaman
ini yang bilang begitu. Sebab, mereka tidak punya kemewahan
untuk berkata jujur dan mereka harus menjaga perasaan
umat...”
Pelan-pelan aku mengerti, a adalah anak bungsu. Ia me-
miliki kemewahan yang tidak dimiliki kakak-kakaknya atau
seorang anak tunggal untuk mengatakan banyak hal yang tak
boleh dikatakan.
Bulan berganti bulan. Ketakutanku pada kehadiran ibuku
dan Hari Kiamatnya dalam diri a perlahan-lahan pupus. Ia
me mang percaya Tuhan, tetapi dengan cara yang sama sekali
lain dari ibuku. a menjelma seorang perempuan berkaki
kokoh yang dulu dicintai oleh aku dan ayahku. Kepalaku bisa
rebah di pangkuannya ketika ia berdoa, seperti dulu ketika
ibuku berdoa. Bersama luruhnya ketakutanku, performaku
sebagai lelaki semakin baik juga. Percintaan kami semakin
bermutu. Tapi ia adalah makhluk aneh yang bisa sangat panas
di ranjang lalu sangat dingin membicarakan yang barusan
terjadi. Ia memang anak bungsu yang memiliki kemewahan
untuk mengatakan apa yang tak boleh dikatakan.
“lihat,” katanya seusai bercinta. “Setiap kali kita bercinta
sung guhan dengan pasangan baru, rasanya begitu indah
seolah-olah kita tidak pernah merasakannya sebelumnya.
Pada hal kita tahu, sebelumnya juga selalu begitu...”
209
Enrico_koreksi2.indd 209 1/24/12 3:03:57 PM