Page 74 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 74
a yu Utami
tak bersamanya. Persoalannya, kepala Dudu belum terpisah
dari badannya. aku baru berhasil mengerat tiga per empat
le hernya, tapi ia keburu melarikan diri. Begitu sadar bahwa
bebekku lari, dengan leher sedikit menyambung seperti tutup
ceret, aku mencoba mengejar. Tapi ia kabur. Ia merasa ku khia-
nati. Ia terbang, melewati pagar, ke arah semak, ke balik pe-
pohonan, hilang... dengan leher tutup ceretnya yang mem buat
kepalanya mengayun-ayun janggal.
Dengan pucat pasi aku melaporkan kegagalanku pada
Ibu. Ia tidak bereaksi. Ia tidak memarahi aku, tapi tidak juga
membesarkan hatiku. Sikapnya yang dingin membuat aku
merasa jadi orang gagal. aku ingin ia menghiburku, mengata-
kan bahwa “Tak apa, Rico. Kamu toh masih terlalu kecil.” Tapi
daripada didiamkan begini, lebih baik aku dimarahi. Jika ia
marah, aku punya tenaga untuk membalas. Dengan membalas,
aku menutupi kegagalan. Tapi ia tak marah sehingga aku tak
punya cara untuk menutupi kegagalanku. aku terpaksa me-
lihat kenyataan.
Ibu menyuruhku cuci tangan dan pergi belajar. aku me-
rasa nelangsa. Di saat-saat demikian, aku merasa ibuku tak
mungkin bersikap dingin seandainya Sanda masih hidup. aku
ingin menitikkan airmata tapi tak bisa.
Ketika petang tiba, ada yang berkelapak di kandang. Si
Dudu pulang! Bebek yang lehernya kukerat itu kembali, se-
perti rindu rumah. Ia datang selepas gelap seperti telah ter-
se sat. lehernya masih seperti tutup ceret yang menyebabkan
kepalanya berayun-ayun aneh. Ibuku mengambil makhluk
malang itu dan membawanya ke dalam rumah. aku pura-
pura belajar. Tapi dari kamar aku mengintip ke ruang depan.
Tanpa ekspresi, Ibu menjahit leher bebek itu dengan jarum
68
Enrico_koreksi2.indd 68 1/24/12 3:03:53 PM