Page 75 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 75
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
dan benang yang biasa ia pakai menjahit. Hanya saja ia ti dak
memakai mesin Pfaf berdinamonya yang berjasa besar. Ia
men jahit dengan tangan. Makhluk malang itu terkulai pasrah.
Esoknya si Dudu sudah berjalan-jalan kembali. Ia mati tua,
bertahun-tahun kemudian.
Tapi sakit hatiku pada Ibu tidak hilang sampai bertahun-
tahun kemudian. Hanya saja, jika kita melihatnya dari kaca
mata lain, dalam enam tahun aku telah bertumbuh dari bayi
drakula yang memakan puting ibunya sendiri menjadi bocah
kecil yang bertanggung jawab. Bocah cilik yang mengalah-
kan keinginan-keinginannya sendiri untuk sesuatu yang lebih
besar. Tapi, pertanyaannya, apakah yang lebih besar itu?
Suatu hari ayahku pulang membawa sebuah kotak tertu-
tup selubung. ayah pandai membuat ketegangan dan kejutan.
“Coba tebak apa ini?” katanya penuh teka-teki. Ia selalu
pandai membuat aku berdebar-debar.
Tapi ibuku, sejak bertemu Khasiar sang Pengkhabar, ia tak
suka membiarkan ketegangan berlangsung lama. Semuanya
harus benar dan perlu.
“Itu burung beo dari nias. Yang sudah dijanjikan orang
galangan kapal itu. Dia senang pada papamu karena papamu
orang baik.”
ayahku agak jengkel bahwa Ibu memperpendek per main-
an kejutan kami. Pelan-pelan, aku dan ayah berpenda pat bah-
wa Ibu adalah faktor perusak permainan.
ayah menyingkapkan selubung dan aku melihat burung
beo istimewa itu untuk pertama kalinya. Bulunya hitam me-
ngi lap. Kaki, paruh, dan jengger di belakang kepalanya ku ning
menyala. Matanya polos tetapi cerdik. aku segera jatuh cinta
69
Enrico_koreksi2.indd 69 1/24/12 3:03:53 PM