Page 89 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 89

Ce r i t a   Ci n t a   E n r i c o

                 diterima sebagai anak asrama, anak-kolong Belakang Tangsi.
                 Ujian pertama telah kulalui. Bahkan aku melakukannya dengan
                 cara yang lebih baik dan beradab dibanding semua anak. Kini
                 aku harus menjalani dua tes berikutnya. Ujian kedualah yang
                 paling membuat aku gentar.
                    Di belakang asrama kami ada sebuah jalan. Jalan Belakang
                 Tangsi namanya. Di bawah jalan itu ada saluran air got yang
                 melintang dan meliuk. gorong-gorong itu hanya cukup untuk
                 memuat anak kecil merangkak. Ujian kedua yang harus ku-
                 tempuh adalah melalui terowongan sempit dan gelap itu dari
                 ujung  satu  dan  keluar  di  ujung  yang  lain.  Tanpa  alat  bantu
                 apa pun, senter atau sebagainya. aku sangat takut pada ruang
                 sempit, apalagi yang gelap. Dinding-dinding yang menghimpit
                 menimbulkan  rasa  tertekan  yang  tak  dapat  kutanggung.
                 Tapi, untuk mendapat pengakuan, setiap anak harus melalui
                 te rowongan  itu,  dengan  sedikitnya  tiga  saksi.  Jadi  aku  tak
                 mung kin  bohong.  lagipula,  jika  lewat  masanya,  tubuh  kita
                 akan  menjadi  terlalu  besar  untuk  bisa  melewati  lorong  itu.
                 Sungguh,  tes  kedua  ini  adalah  uji  nyali  di  usia  dini.  Satu-
                 satunya kesempatan adalah tatkala kau masih kecil.
                    Tibalah  giliranku.  Saksi-saksi,  yaitu  anggota  geng  yang
                 lebih senior, berjaga di kedua mulut liang. Jantungku berdebum
                 dan perutku mual karena ketakutan. aku rasanya seperti mau
                 masuk  ke  dalam  liang  kuburku  sendiri.  Tapi  aku  ingin  jadi
                 lelaki sejati, sebagai syarat menjadi anggota kelompok. Dengan
                 perasaan  tidak  karuan,  aku  mulai  menyurukkan  kepalaku
                 ke dalam goa yang berlumut hitam itu. Setelah itu tanganku,
                 tubuhku yang merangkak, dan kaki-kakiku yang dingin.
                    Segala  suara  hilang.  aku  masih  bisa  melihat  batu-batu
                 dan lumut di bawahku oleh sisa cahaya dari pintu lorong di


                                                                          83



       Enrico_koreksi2.indd   83                                      1/24/12   3:03:53 PM
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94