Page 90 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 90
a yu Utami
belakangku. Tapi di depanku hanya ada kegelapan. Sema kin
aku maju, semakin sedikit sisa terang dari belakang, sema-
kin aku masuk ke dalam kebutaan. Tak tampak mulut tero-
wongan yang satunya. gelap. Semakin gelap. Ke mana lorong
ini sesungguhnya pergi? Tak terdengar lagi suara teman-
temanku. gelap, sepi, dan menghimpit. Pada satu titik aku
merasa tak bisa bernafas. aku bagaikan tercekik. Kuputuskan
untuk mundur. aku merangkak atret. Cahaya di belakang
mulai terlihat. aku lega. Tapi aku juga sedih dan malu. aku tiba
di mulut liang. Pantatku ke luar lebih dulu. Teman-temanku
berseru, “Rico gagal! Payah! Si Rico gagal!”
aku malu dan sedih sekali. Setiap hari aku berjanji pada
diriku bahwa aku akan mencoba lagi ujian kedua itu. Dan aku
memang pernah mencobanya lagi. Setiap kali pula aku harus
menelan kenyataan bahwa aku gagal.
Untungnya, ujian ketiga boleh ditempuh meskipun kau
tidak lulus ujian kedua. Tahap ini disebut ujian ketiga se mata-
mata karena wilayah jelajahnya lebih jauh daripada jalan
Belakang Tangsi. Kami harus pergi ke Bandar Buat, yang ja-
rak nya sekitar delapan kilometer. Begitu matahari terbit dan
aku melepas bebek-bebekku agar mereka pergi ke rawa-rawa
dekat Kantor Pajak, aku bergabung dengan gerom bolan. Kami
berjalan kaki mendaki bukit-bukit ke Bandar Buat. Di Bandar
Buat ada jalur lori gantung pengangkut semen dari pabrik
besar di Indarung. Karena kota kecil ini terletak dekat puncak
bukit, maka jalur kereta gantung tidak terlalu tinggi dari
tanah. lihat! Pada rel itu kawat baja bergerak meng angkut
keranjang-keranjang baja. Bunyinya berderit-derit berat. Yang
ke arah bawah memuat tumpukan sak semen. Yang ke arah
84
Enrico_koreksi2.indd 84 1/24/12 3:03:53 PM