Page 189 - PDF Compressor
P. 189

Kendati tidak semua Ki Sunda berani meneriakkannya dengan lantang
                     karena Tatar Sunda merupakan bagian dari pluralitas Indonesia, sehingga ketika
                     bicara  Ki  Sunda  sempat  muncul  pertanyaan  tajam:  Ki  Sunda  yang  mana?
                     Apalagi dalam kehidupan politik, Ki Sunda sudah terpolarisasi dalam penggalan-
                     penggalan  kepartaian  yang  notabene  sentralistik.  Nyatanya  wajar  jika  hanya
                     beberapa  gelintir  pemimpin  Sunda  yang  berani  tampil  dengan  visi,  misi,  dan
                     program kesundaan.
                            Oleh karena itu, ketika Walikota Bandung pun punya “program” yang
                     pro-kesundaan  bukan  hal  yang  baru  dan  bukan  yang  pertama  karena  telah
                     muncul  juga  sejumlah  pemimpin  Sunda  yang  sudah  terlebih  dahulu  berani
                     mengibarkan  martabat  kesundaan  kendati  baru  menyentuh  wilayah  Sunda
                     Simbolik. Sebut saja misalnya ketak berlian Bupati Purwakarta yang teuneung
                     ludeung  mengibarkan  Ki  Sunda  dalam  berbagai  lini  kehidupan  masyarakat
                     Purwakarta.
                            Salah  satu  budaya  Sunda  yang  sangat  menonjol  yang  dipertontonkan
                     Pemerintah  Kabupaten  Purwakarta  yang  juga  mulai  ditebarkan  Walikota
                     Bandung adalah penggunaan jenis pesan nonverbal faktor artifaktual: pakaian.
                     Pakaian Sunda, berupa baju pangsi/kampret dan iket barangbang semplak sudah
                     menjadi  salah  satu  pakaian  wajib  bagi  para  pejabat.  Hal  sama  pun  mulai
                     ditebarkan di Kota Bandung dan Pemerintah Daerah lainnya, seperti Pemerintah
                     Kota  Cirebon  yang  mewajibkan  pegawainya  berpakaian  batik  dengan  kepala
                     beriket.  Bahkan,  sejumlah  sekolah  di  Kota  Bandung  sudah  mulai  mewajibkan
                     anak didiknya untuk menggunakan baju kampret dan iket barangbang semplak
                     bagi siswa laki-laki dan kain serta kebaya bagi siswa perempuan.
                            Sekilas  pakaian  adalah  hal  yang  remeh  temeh;  menyangkut  kehidupan
                     keseharian  seseorang  saja.  Namun,  banyak  fakta  yang  menjadi  bukti  bahwa
                     pakaian  pun  mencatat  perubahan  sosial  dan  politik  dalam  sejarah  peradaban
                     suatu bangsa; pakaian dapat menjadi simbol perlawanan, termasuk hal-hal yang
                     ideologis  dan  fundamentalis.  Bahkan,  sejarah  pakaian  Indonesia  sama
                     kompleksnya dengan sejarah kebangsaan Indonesia. Hal itu, misalnya, tergambar
                     jelas  dalam  buku  Kees  van  Dijk  yang  berjudul  Sarong,  Jubbah,  Trouser;  Jean
                     Gelman  Taylor,  dan  Costume  and  Gender  in  Colonial  Java  (1800-1940)  dan
                     karya  Rudolf  Mrazek  dalam  Indonesian  Dandy  pada  Outward  Appearances,
                     Dressing State & Society in Indonesia (1997).
                            Dalam  konteks  ke-Indonesia-an  banyak  sekali  yang  dapat  dijadikan
                     contoh betapa bermaknanya pakaian. Sarung saja yang dalam realitas sederhana
                     hanya terbuat dari lembaran kain lebar yang disambungkan, ternyata memiliki
                     makna  ideologis  bagi  masyarakat  muslim  Indonesia.  Tradisi  menggunakan
                     sarung dan kopiah atau peci di Tanah Air tersebar hampir di seluruh wilayah
                     Indonesia. Pria muslim di Indonesia biasa menggunakan sarung dan kopiah atau
                     peci untuk keperluan ibadah, upacara perkawinan atau acara adat lainnya.
                                                       187
   184   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194