Page 190 - PDF Compressor
P. 190

Begitu juga jilbab dan baju gamis yang juga merupakan identitas bagi
                     perempuan muslim di Indonesia. Bahkan, pakaian ini tidak hanya dapat dipakai
                     untuk kesempatan-kesempatan formal keagamaan, tetapi kegiatan-kegiatan sosial,
                     bahkan  bekerja,  sekolah,  dan  kuliah.  Pakaian  tersebut  tidak  hanya  berperan
                     sebagai  penutup  aurat,  tetapi  sudah  bergeser  menjadi  multifungsi.  Jilbab  dan
                     baju gamis tidak sekedar mencitrakan religius, tetapi telah menjadi gaya hidup
                     modern sebagaimana menjadi pakaian para artis ternama.
                            Pakaian  adalah  kode-kode  yang  bermakna;  pakaian  tidak  hanya
                     menunjukkan kelas sosial-ekonomi seseorang, tetapi juga dapat menggambarkan
                     sikap politik. Dengan pakaian tertentu, seseorang dapat dianggap berpihak atau
                     tidak berpihak pada partai politik tertentu.
                            Namun, dapatkah simbol-simbol pakaian sebagaimana kampret dan iket
                     barangbang  semplak  tidak  hanya  menunjukkan  simbol  kesundaan,  tetapi  juga
                     dapat  menghidupkan  kembali  karakter  substantif  Ki  Sunda  yang  teuneung
                     ludeung leber ku wawanen; henteu kumeok memeh dipacok. Sebagaimana kajian
                     Gunawan Undang (2001) yang mencitrakan Ki Sunda tengah   nyangkere sare
                     simpe dipepende ku nelengnegkung, sehingga harus membangkitkannya kembali
                     melalui penguatan Sunda Simbolik menjadi Sunda Substantif.
                            Pewajiban  penggunaan  pakain  kampret  dan  iket  barangbangsemplak
                     sebagaimana yang ditebarkan oleh sejumlah pemimpin Ki Sunda sejatinya juga
                     diimbangi dengan penanaman nilai-nilai positif kesundaan. Bahkan, pewajiban
                     pakaian  tersebut  pun  harus  diwaspadai  karena  secara  historis  di  Tatar  Sunda
                     pernah  tercatat  bahwa  pakaian  juga  dapat  menjadi  jurang  pemisah  di  antara
                     penguasa dan rakyatnya.
                            Sebagaimana  catatan  Nina  Lubis  (1998)  yang  menggambarkan  bahwa
                     pakaian  kesundaan  juga  merupakan  simbol  status  dalam  stratifikasi  sosial
                     masyarakat Sunda, sehingga lahirlah kelas menak dan cacah kuricakan. Lapisan
                     menak  merupakan  lapisan  bangsawan,  dan  lapisan  cacah  merupakan  lapisan
                     rakyat  jelata.  Bahkan,  untuk  memperjelas  garis  pemisah  antara  penguasa  dan
                     rakyatnya  yang  belakangan  ini  disadari  sebagai  salah  satu  politik  adu  domba
                     Pemerintah Hindia Belanda pada jaman itu.
                            Nilai-nilai  menak  dan  cacah  di  era  kekinian  tidak  aktual  lagi  untuk
                     dikembangkan. Konsepsi egaliter, kesetaraan, sederajatan di antara semua orang
                     Sunda;  seluruh  Bangsa  Indonesia  adalah  semangat  bersama  dalam  wadah
                     Indonesia  yang  sudah  komitmen  menjadi  negara  demokrasi.  Nilai-nilai  positif
                     kesundaan  harus  dipertahankan;  Ki  Sunda  harus  tetap  hidup  ngapak  segala
                     jaman,  tetapi  bukan  untuk  mengekalkan  karakter  menak  yang  ingin  tetap
                     menjaga status quo, padahal bukan jamannya lagi. ***





                                                       188
   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194   195