Page 233 - PDF Compressor
P. 233
”Bareng Keara.”
Jantung gue langsung berdetak lebih cepat.
”Kami baru balik dari Manila nonton John Mayer, ini lang-
sung mau terbang ke Jakarta,” lanjutnya.
”Masih aja, ya, tergila-gila sama John Mayer?” gue berusaha
menutupi kegugupan dengan tersenyum lebar.
”Masih dong,” seru Dinda, ikut nyengir.
”Keara-nya mana?” gue bertanya dengan nada sesantai
mungkin. Gue sadar Dinda mungkin sudah dijejali cerita oleh
Keara tentang bagaimana gue meniduri Keara saat kami ber-
dua mabuk yang membuat perempuan yang gue cintai itu
membenci gue setengah mati dan tidak mau melihat muka
ganteng gue ini lagi. Tapi gue berusaha mengabaikan hal itu
dan bersikap senormal mungkin.
”Tadi lagi ke toilet. Eh, itu dia tuh.” 231
Gue mengikuti arah pandangan Dinda dan melihat lo,
Keara, pertama kalinya sejak terakhir gue sempat melihat lo
melintas di lobi kantor.
Gue, Harris Risjad, nggak banci, kan, kalau bilang detik ini
rasanya jantung gue mau meloncat keluar dari dada ini? Dada
yang pernah menjadi tempat lo bersandar waktu kita berde-
sak-desakan di dalam MRT menuju Chinese Garden setahun
yang lalu itu.
Gue mengikuti setiap gerakannya ketika dia tersenyum
basa-basi ke security yang menyuruhnya meletakkan seluruh
barang ke dalam bucket untuk melewati x-ray. Gerakan ang-
gunnya ketika dia mencopot sunglasses dan jaket kulitnya.
Tapi yang membuat gue gagu beneran adalah ketika akhir-
nya Keara melihat gue dengan Dinda, tatapan matanya yang
belum sempat ditutup dengan sunglasses itu menghunus gue.
Tatapannya menghunus gue di setiap langkah yang dia ayun-
Isi-antologi.indd 231 7/29/2011 2:15:27 PM