Page 238 - PDF Compressor
P. 238
Sepersekian detik, Karin melirik ke tangan gue dan dia
balas tersenyum.
Gue sudah bilang ini akan gampang, kan?
Harris Risjad still got it. Dalam enam puluh menit terakhir
penerbangan ini, PIN BB, nomor ponsel, sampai nomor gaun-
nya pun gue sudah tahu. Jadi bukan pesona gue yang kurang
atau gue yang kurang ganteng kan, ya? Kurang apa coba gue
di depan Keara? Sori kalau ini terdengar arogan, tapi gue
mau jujur-jujur aja nih: semua perempuan wants a piece of
this. Semua kecuali satu-satunya perempuan yang gue mau,
yang gue butuhkan untuk menginginkan gue. Gue kurang apa
dibanding Ruly yang elo agung-agungkan itu, Key? Oke, oke,
cukup protesnya dengan menjerit dalam benak gue: Ruly le-
bih baik-baik, Ruly lebih alim, Ruly lebih kalem, Ruly lebih
dewasa, Ruly itu sosok calon suami yang sempurna, dan sete-
236
rusnya dan seterusnya.
Kalau bukan teman sendiri, si Ruly ini sudah gue dorong
ke jurang saja.
Malam ini Soekarno-Hatta penuh sesak. Sambil mengobrol
dengan Karin menuju conveyor belt pengambilan bagasi, mata
gue terus mencari-cari sosok Keara dan Dinda. Tapi bahkan
sampai gue berpisah dengan Karin dan berjalan menuju pang-
kalan taksi, batang hidung dua perempuan itu tetap tidak
kelihatan. Atau gue yang sudah rabun? Crap, ini tanda-tanda
gue harus cepat cari taksi biar bisa pulang dan tidur membu-
nuh rasa capek ini.
”Harris!”
Bukan suara perempuan—bukan Keara tepatnya—yang
me-manggil gue, tapi malah suara laki-laki.
”Hei, bro, dari mana lo?”
Yang manggil gue ternyata Panji. Gila, udah berapa lama ya
Isi-antologi.indd 236 7/29/2011 2:15:27 PM