Page 244 - PDF Compressor
P. 244
Untuk yang ingin menamparku bolak-balik supaya sadar
dan waras, silakan ambil nomor antrean, ya.
Pagi ini, dua hari setelah aku kembali dari Manila, melihat
Ruly dan senyumannya dan tatapan teduhnya ini sangat meno-
long—lebih berguna daripada sebutir-dua butir aspirin—un-
tuk membunuh sakit kepala yang betah bertengger di kepala-
ku sejak mendarat di Jakarta Sabtu kemarin. Sekujur tubuhku
terasa aneh sebenarnya. Ini cuma bisa dideskripsikan dengan
campuran antara super excitement pascakonser John Mayer
yang masih membekas sampai sekarang, dengan major
dreading akibat encounter tak terduga di bandara kemarin, di
Changi dan di Soekarno-Hatta. Sementara perutku rasanya
seperti baru makan durian yang dicocol terasi, kepalaku mela-
yang seperti dikuasai satu botol Moët & Chandon.
Sabtu kemarin, sepanjang perjalanan dari bandara ke
242
Simprug, rumah Dinda, sampai Setiabudi, apartemenku, yang
kulakukan cuma menyandarkan kepala ke jok mobil dan me-
mejamkan mata.
”Kamu nggak pa-pa?” Panji menoleh sesaat.
”Nggak, capek doang,” jawabku singkat.
”Pingsan beneran nih berdua?” Panji melirik Dinda yang
duduk di belakang dari spion.
”Capek, Panji, udah deh, lo nyetir aja,” seru Dinda. ”Gue
ama Keara mau mimpiin John Mayer aja.”
And that was why we’re best friends, Din. Ucapan yang me-
luncur dari bibir Dinda cukup sakti membuat Panji tertawa
lalu diam tenang sepanjang perjalanan itu.
Tapi ada tiga puluh menit dari Simprug ke Setiabudi yang
harus kulalui berdua saja dengan Panji. Aku nggak tahu harus
ngobrol apa. Agak-agak nggak sopan juga kan, ya, kalau aku
cuma tidur sementara dia menyetir, itu namanya sopir. Walau-
Isi-antologi.indd 242 7/29/2011 2:15:28 PM