Page 105 - dear-dylan
P. 105
“Banyak yang luka-luka... Tadi Silvia sempat lihat orang-orang yang digotong keluar dari
stadion bersimbah darah...”
Aku merasa mual. Rasanya kepingin muntah saja...
“Tapi itu kan yang gue dengar dari Silvia, mungkin sekarang situasinya sudah membaik, gue
nggak tahu... Gue mau telepon anak-anak milis yang lainnya dulu ya, Lice?”
Aku nggak bisa menjawab. Bahkan mengeluarkan gumaman pun mulutku nggak sanggup.
Tapi Cynthia memutuskan sambungan teleponnya, mungkin mengira aku sudah pingsan, sampai
nggak bisa menjawab pertanyaannya lagi.
“Lice, lo kenapa? Ada apa?” tanya Grace lagi.
Aku menatap Grace seolah nggak mengerti bahasa yang digunakannya. Sedetik kemudian,
tangisku meledak.
“Udah, udah... nih, minum dulu deh.” Grace menyodorkan segelas minuman padaku, yang
kuteguk sedikit.
Siaul, minumannya enak. Segar. Tapi kan aku ceritanya lagi ngambek, mana mungkin jadi
rakus minta minum banyak-banyak?
“Apaan nih?”
“Es teh. Gue kasih jeruk nipis dikit,” jawab Grace sambil mengambil mug dari tanganku dan
meletakkannya di meja. “Eh, gue udah coba telepon Dylan, tapi HP-nya mati.”
Aku nggak bereaksi, bingung antara mau marah, khawatir, atau nangis lagi. Kayaknya semua
masalah ini lebih berat daripada teror-teror Noni dulu. Seenggaknya dulu, walaupun aku punya
masalah, Dylan ada di dekatku. Sekarang? Dia jauh... dan nggak memercayaiku untuk share
masalahnya...
Duh, aku jadi kepingin nangis lagi!
“Kenapa ya?” tanya Grace sambil duduk di sebelahku, “Kenapa konser yang di Pekanbaru
ini bisa rusuh juga? Apa penontonnya terinspirasi dari rusuh di Medan?”
“HUSH!” potongku. “Apaan sih, masa konser rusuh bisa terinspirasi?!”
“Lho iyaa... kan bisa aja! Siapa tahu pen...”
Aku nggak tahu Grace mengatakan apa lagi, karena perhatianku teralih dering HP-ku.
Di LCD-nya terpampang wajah Dylan.