Page 108 - dear-dylan
P. 108

“Tapi aku terikat kontrak...,” kata gue bingung.
                    “Batalkan kontraknya! Batalkan!”
                    Hah? Batalkan kontrak? “Lho, nggak bisa gitu dong, Say...”
                    “Aku nggak mau tahu, Lan! Aku... aku... takut kamu kenapa-napa... Balik ke Jakarta, ya,
               besok? Ya?”
                    “Tapi kalau aku batalkan kontrak secara sepihak, manajemen Skillful bisa kena penalti...
               dan pasti aku yang harus bayar, karena salahku...”
                    “Bayar aja!”
                    GLEK! Bayar aja, katanya...?
                    “Lan, aku punya feeling nggak enak... Kamu pulang, ya, besok? Naik flight paling pagi,
               kalau bisa. Sementara tolak dulu tawaran manggung, apalagi kalau venue-nya lapangan sama
               stadion...”
                    Gue tambah melongo. Alice kedengarannya panik banget, setengah histeris, malah.
                    Tapi  gue  kan  nggak  bisa  memenuhi  permintaannya.  Membatalkan  kontrak  nggak
               segampang itu. Bayar penalti mungkin bukan masalah buat gue, tapi gimana dengan Bang
               Budy?  Gimana  dengan  profesionalitas  manajemen  Skillful?  Dan  kalaupun  yang  ini  bisa
               dibatalkan,  kontrak-kontrak  selanjutnya  sudah  menunggu.  Manajemen  biasanya  menerima
               tawaran kontrak tiga bulan sebelum tanggal show. Masa semua itu harus dibatalkan juga?
                    “Sayang, aku ngak bisa... Aku kan harus mematuhi kontrak. Lagi pula, konser berikutnya
               kan nggak mungkin rusuh lagi. Masa rusuh terus sih,” gue berusaha membujuk Alice.
                    “Memangnya ada yang bisa jamin berikutnya nggak bakal rusuh lagi? Ini aja udah dua
               kali! Pokoknya pulaaangggg...” Alice tersedu-sedu di telepon. “Pulang, Lan, pulaaangg...”
                    Duh! Gimana nih? Apa gue iyain aja dulu, ya?
                    Ah, nggak, gue nggak boleh bohongin dia lagi, nanti dia maalh tambah marah kalau tahu
               gue bohong!
                    “Say, aku janji  aku nggak bakal  kenapa-napa. Tinggal  empat kota lagi  kok, terus  aku
               balik Jakarta. Kamu jangan gitu ya?”
                    “Pulaangg... hiks... pulaaangg!”
                    Waduh,  nggak  bisa  dibujuk  nih!  Repot!  Padahal  sebelumnya  Alice  nggak  pernah
               merajuk kayak anak kecil gini!
                    “Aku bener-bener nggak bisa... Aku kan harus profesional, Sayang...”
                    “Iya deh iya, pentingin  aja tuh  sana profesionalitas kamu! Memang kamu nggak mau
               denger omongan aku!”
                    Tut tut tut tuuuttt...
                    Haah? Alice menutup teleponnya?! Ngambek LAGI???
                    Gilaaa, padahal tadi baru juga baikan!
                    Telepon lagi, Dylan, cepat telepon lagi!
                    Gue  memencet  speed  dial  nomor  Alice,  tapi  nggak  tersambung.  Damn,  dia  langsung
               matiin HP rupanya.
                    Gimana nih? Gimanaaa?
                    “Arrrrrgggggghhhhhh!” Gue menjerit sekeras-kerasnya, dan menendang dinding kamar
               hotel sekuat tenaga.
                    Sebodo amat! Mau ngambek ya ngambek sana!
   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113