Page 113 - dear-dylan
P. 113

“Oya?” Gue sok kaget, tapi Regina mengangguk yakin.
                    “Boleh kok kalau mau cerita-cerita,” tawarnya.
                    Gue tersenyum menatap Regina, dan tahu-tahu aja, cerita tentang aksi  ngambek Alice
               mengalir  dari  mulut  gue.  Gue  yang  bingung  karena  Alice  menyuruh  gue  membatalkan
               kontrak dan segera kembali ke Jakarta, kepusingan gue yang bertambah karena masih agak
               stres  setelah  mengalami  dua  konser  rusuh  tapi  malah  dijutekin  sama  pacar  sendiri,  plus
               gimana  gue  harus  mengajak  bicara  Alice  saat  sampai  di  Jakarta  nanti,  semuanya  tiba-tiba
               sudah didengar oleh Regina. Hebatnya, dia nggak memotong sekali pun saat gue bercerita.
                    “Oh, gitu. Hmm... kalau boleh tahu nih, kayaknya beda umur lo sama cewek lo lumayan
               jauh, ya? Soalnya waktu di PIM waktu itu, gue lihat dia masih... ehh... muda banget.”
                    “Mmm... iya sih. Dia delapan tahun di bawah gue.”
                    Baru kali ini ekspresi tenang Regina berubah. Dia kelihatan kaget.
                    “Kenapa? Kaget, ya?” tebak gue.
                    “Iya sih. Gue nggak nyangka aja bedanya ternyata sejauh itu.” Regina tersenyum lagi,
               dan  gue  menyadari  kenapa  dia  bisa  jadi  bintang  iklan  dan  model  dengan  nilai  kontrak
               termahal se-Indonesia. Senyumnya itu lho, manis banget! Dan gue nggak nyangka bahwa dia
               teman yang enak diajak ngobrol.
                    “Tapi nih, mungkin itu menjelaskan kenapa dia bisa ngambek kayak gini...”
                    “Oya? Memang apa hubungannya?” tanya gue nggak ngerti.
                    “Iya. Jadi gini nih, dia kan minta lo batalin kontrak terus balik ke Jakarta secepatnya,
               kan?” Gue mengangguk. “Ya itu karena jalan pikiran dia masih jalan pikiran orang seumuran
               dia.  Dia  masih  belum  ngerti  yang  namanya  kontrak  dan  profesionalitas  kerja.  Dia  belum
               paham kalau kita batalin kontrak tuh ruginya banyak banget di kita. Gue nggak ngomongin
               soal penalti, karena apa sih susahnya ngeluarin uang demi menyenangkan orang  yang kita
               sayangi? Yang gue omongin ini soal  image. Lo tahu kan, kita menjual kredibilitas kita ke
               klien, ke sponsor... Sekalinya kredibilitas itu rusak, let’s say, dengan kita batalkan kontrak
               secara sepihak, kita bakal susah lagi dapatnya. Kalau sudah gitu, berantakan deh semua.”
                    “Nah, itu yang gue maksud, Gin!” Gue menepuk meja bar sedikit, dan Regina tersenyum
               lagi.
                    Wow, gue betul-betul nggak nyangka Regina nyambung banget diajak ngobrol! Selama
               ini gue selalu beranggapan cewek-cewek model secantik dia pasti bolot, lemot, disconnect,
               dan semacamnya, tapi malam ini Regina meruntuhkan stereotip itu!
                    Gue jadi merasa bersalah karena pernah punya paham seperti itu.
                    “Terus, sekarang, cewek o masih ngambek nih? Lo telepon nggak diangkat?”
                    “He-eh. Childish banget, ya?”
                    “Eh, nggak boleh bilang gitu, kali.” Regina menepuk bahu gue pelan, dan gue sadar gue
               baru saja... menjelek-jelekkan Alice!
                    Ooohh damn! Gue ngak pernah SEKALI PUN menjelek-jelekkan Alice sebelum ini, tapi
               sekarang gue mengatainya childish di depan orang lain?!
                    “Gue ngerti lo sebel cewek lo nggak bisa ngertiin lo, tapi kan lo juga harus bisa ngertiin
               dia. Pasti dia khawatir banget mikirin keselamatan lo. Pasti dia kepingin banget lo mau share
               semua masalah sama dia. Dia kan cewek lo, Lan, dia berhak untuk itu.”
                    Great, sekarang gue bener-bener merasa gue manusia paling berdosa di dunia!
                    “Terus... gue harus gimana?”
   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118