Page 56 - dear-dylan
P. 56
“Ya, kita akan mengatur seolah Yopie bersedia mencabut laporannya dan menyelesaikan
permasalahan dengan jalan damai, karena kamu setuju untuk membuat pernyataan maaf di
media nasional... atas perbuatanmu terhadap dia.”
Gue menatap Yopie si artis karbitan, dan bisa dengan jelas melihat senyum kemenangan
mengembang di bibirnya, seolah menyindir gue. Gue menatapnya sambil berusaha mengatur
napas gue yang berantakan, saking kepinginnya menghajar dia lagi.
Dan apa tadi Pak Leo bilang...? Brengsek! Kalau ada yang harus bikin permintaan maaf
di media nasional, Pak Leo-lah orangnya! Dia harus bikin permintaan maaf selama empat
puluh hari berturut-turut karena punya otak yang nggak waras, dan melibatkan orang lain
dalam ketidakwarasannya!
“Lalu setelah itu?” tanya gue antara pahit dan berang.
“Kalian akan muncul di infotainment, berjabat tangan dan berdamai, menyatakan
masalah kalian sudah selesai, dan... Excuse bisa memulai proses mastering untuk album
mereka,” jelas Pak Leo tenang, seolah yang dijelaskannya barusan hanyalah susunan acara
kemping Persami untuk anak-anak SD.
Yang gue tahu, kurang dari semenit berikutnya, gue sudah berada di luar ruang rapat,
meninggalkan suara bantingan pintu yang luar biasa kerasnya di belakang sana.
* * *
Gue menjatuhkan puntung rokok ke aspal, dan menginjaknya sampai apinya padam. Di
sekeliling puntung yang baru gue injak, berserakan puntung-puntung lainnya. Entah sudah
berapa batang rokok yang gue habiskan selama duduk di atas motor ini. Pak Kirno, satpam
kantor manajemen, bolak-balik mencuri pandang ke arah gue, gue yakin dia penasaran
setengah mati kepingin tahu apa yang terjadi tapi ngak berani tanya.
Yeah, gue memang belum kepingin pulang. Belum berani, tepatnya. Gue nggak sanggup
pulang dan mendapati wajah Mama yang penuh harap menunggu penjelasan kenapa gue bisa
masuk sejuta infotainment sialan itu dengan tuduhan memukuli anak orang. Mama pasti stres
kalau tahu gue terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi yang kotornya amit-amit macam ini.
Jadi sekarang, gue duduk merokok di atas motor gue, di parkiran kantor manajemen,
bengong kayak orang bloon.
Sebenarnya, gue udah bertahun-tahun nggak merokok, apalagi setelah pacaran sama
Alice, dia terang-terangan menyatakan sikap benci rokok. Tapi berhubung sekarang lagi stres,
gue butuh pelampiasan. Gue beli aja dua bungkus di kios yang buka di depan kantor
manajemen. Yang punya kios sampai terbengong-bengong ngeliat gue beli rokok, habisnya
yang selama ini sering mondar-mandir ke kios dia kan cuma anak-anak kru, atau paling
banter Dovan sama Dudy.
Hhh... sebodo amatlah sama pita suara gue yang bakal rusak gara-gara semua rokok ini,
gue sekarang kan lagi kepingin nabok orang!
“Mas Dylan... nggg... anu...”
Gue mendongak, menatap Pak Kirno yang sedang menatap balik gue dengan gelisah,
seolah dia sudah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk bertanya pada gue tentang hal
gila macam apa yang tadi terjadi di dalam sana.