Page 57 - dear-dylan
P. 57
“Ya, Pak Kirno?” tanya gue sehalus mungkin. Biarpun lagi kesal setengah mati, gue
nggak bisa melampiaskan kekesalan dengan membentak-bentak Pak Kirno, kan? Atau
jangan-jangan Pak Kirno nonton infotainment juga, dan percaya bahwa gue, yang sudah
dikenalnya selama tiga tahun ini sebagai orang paling nggak suka cari masalah, sekarang
sudah berubah jadi juara tinju amatir kelas bantam 85 kg?
Yeah, kayak ada petinju yang seberat anak gajah baru lahir macam gue aja.
“Maaf, Mas Dylan, tapi...”
“Bapak mau nanya kenapa saya bisa masuk infotainment?”
Pak Kirno mengangguk dengan takut-takut, dan gue jadi geli. Gimana sih, Pak Kirno kan
satpam, kalau dia takut-takut begini hanya karena bertanya sama gue, apa jadinya kalau ada
maling yang mau merampok kantor manajemen? Jangan-jangan bukannya menangkapi para
maling itu, Pak Kirno malah ngibrit duluan!
“Itu semua,” gue mengisap rokok di tangan gue, “adalah ide orang-orang gila yang ada di
dalam sana.” Gue mengedikkan kepala ke arah kantor manajemen yang ada di depan kami.
“Ide... Pak Budy sama Pak Leo?” tanya Pak Kirno kaget. “Tapi kenapa?”
“Pak Leo punya band baru yang harus diorbitkan, dan rupanya band itu segitu payahnya
kemampuannya, sampai-sampai membutuhkan bantuan saya untuk membawa mereka masuk
infotainment.”
Pak Kirno diam, terilhat berpikir keras, dan tiba-tiba gue jadi merasa bersalah sama dia.
Sudah tiga tahun gue keluar-masuk kantor manajemen ini, yang berarti sudah tiga tahun juga
gue mengenal Pak Kirno, tapi gue nggak pernah sekali pun mengajaknya ngobrol seperti
sekarang. Buat gue, melihat Pak Kirno di kantor setiap hari lebih seperti... rutinitas. Nyaris
nggak pernah muncul dalam pikiran gue niat untuk sekedar menyapa dia, atau mengajaknya
ngobrol seperti gue biasa ngobrol dengan semua personel dan kru Skillful.
“Jadi... jadi semua itu sandiwara? Mas Dylan mukul pokalis band yang baru itu cuma
bohongan aja?” tanya Pak Kirno.
Gue menggeleng, nyaris ngakak mendengar Pak Kirno melafalkan “vokalis” menjadi
“pokalis”. “Seharusnya cuma sandiwara, tapi saya nggak tahan sama kelakuan sengak orang
itu, jadi saya bogem aja dia sekalian! Toh ujung-ujungnya juga saya harus masuk TV karena
mukulin orang, kan? Kalau orangnya brengsek, kenapa nggak saya pukulin aja beneran?”
“Iya, iya, Mas Dylan!” Tiba-tiba Pak Kirno berubah jadi bersemangat. “Saya dari awal
nggak percaya Mas Dylan emosian seperti yang dibilang inpotainmen-inpotainmen itu! Saya
kan kenal Mas Dylan, mereka nggak! Saya yakin, kalau Mas Dylan marah, pasti ada
sebabnya! Jangan takut, Mas Dylan, orang benar pasti akhirnya menang kok!”
Gue terlongong bengong. Rasanya nggak percaya mendengar rentetan kalimat barusan
dari mulut Pak Kirno, satpam kantor manajemen Skillful. Pak Kirno, yang nyaris nggak
pernah gue ajak ngobrol itu... memercayai gue? Dia yakin gue ada di posisi yang benar?
Seperti ada yang baru menyodok rusuk gue dengan telak, dan gue mendadak speechless.
Betapa kadang-kadang kita nggak menghargai orang yang ada di sekitar kita, padahal
mereka sangat berarti...
“Ehh... makasih, Pak Kirno...,” ucap gue kagok.
“Iya, Mas Dylan, sama-sama... Mas Dylan yang kuat ya, nanti juga gosip-gosipnya bakal
hilang sendiri. Saya juga yakin kalau band yang pokalisnya butuh dihajar dulu untuk ngetop,