Page 62 - dear-dylan
P. 62
Waktu mobil Grace berhenti di depan rumahku, aku nggak terlalu kaget mendapati ada motor
terparkir di carport. Aku memang sudah setengah berharap akan menemukan motor itu di sana,
supaya pemiliknya bisa menjelaskan apa saja yang terjadi seharian kemarin, yang bikin aku gelisah
lebih daripada gelisahnya ikan yang dikeluarkan dari air.
“Motor Dylan, ya?” tanya Grace setelah melihat motor itu juga.
“He-eh.”
“Lo masuk gih. Ngobrol yang baik sama dia, kasih support... ntar malam kalau mau cerita,
telepon gue aja, oke?”
Aku mengangguk, dan setelah menggumamkan thanks, turun dari mobil Grace.
Di ruang tamu, aku melihat Dylan mengobrol dengan Daddy. Wajahnya serius, dan kalau
situasinya nggak setegang ini, mungkin aku bakal menggodanya dengan bilang dia sedang
berusaha melamarku pada Daddy, tapi aku kan nggak mungkin segila itu sekarang.
“Hai,” sapa Dylan begitu dia melihatku. Dia kelihatan... kucel. Bagian bawah matanya ada
lingkaran hitam, dan matanya sendiri merah. Apa dia nggak tidur semalaman?
“Daddy tinggal dulu,” kata Daddy sambil membawa cangkir kopinya yang tadi ada di meja
tamu, dan menggandeng masuk Mama, yang mengintip dari celah pembatas antara ruang tamu
dan ruang keluarga, agar nggak mengganggu aku dan Dylan.
Aku melepaskan sepatuku di depan pintu, lalu duduk di sebelah Dylan, dan menatapnya
lurus-lurus (biar sekali-sekali dia tahu bagaimana rasanya dilihatin dengan jenis tatapan seperti
itu!), tapi dia malah menatapku balik, sampai aku nggak sanggup terus memelototinya.
“Maaf ya...” Dia menepuk pelan lututku. “Kamu pasti kaget lihat di TV kalau aku dilaporin
ke polisi...”
“Nggak cuma kaget,” kataku dengan suara serak, yang kukenali dengan baik sebagai
pendahuluan sebelum prosesi berjatuhannya air mata, “aku... marah.”
“Iya, aku tau. That’s why I’m here.”
Feeling-ku benar, air mataku mulai bercucuran. Nggak enak rasanya jadi cengeng begini di
depan Dylan, tapi aku nggak bisa menahannya lagi... Dua hari ini aku stres, gelisah, diomongin
orang, belum lagi membayangkan cowokku bakal berurusan sama polisi, gimana bisa aku baik-
baik saja?
Dylan ternyata bengong melihatku menangis. Dia seperti membeku dalam posisinya,
sebelum akhirnya membelai rambutku pelan.
“Kamu kan tau, aku pasti cerita segalanya ke kamu...”
“Kamu dulu nggak cerita soal kamu yang disuruh mukulin Yopie!” potongku gusar. Hah,
apanya yang “cerita segalanya” kalau begitu?
“Yah... aku minta maaf soal itu, tapi itu kan karena... sampai detik terakhir, aku tetap
berharap nggak perlu melakukan semua itu... tapi Yopie sendiri yang tiba-tiba nongol...
menawarkan diri ditonjok dengan mulut bocornya itu...”
Aku terisak, nggak menjawab. Mulutku malah terlalu gemetar untuk bicara.
“Aku sama sekali nggak tau soal masalah polisi-polisian ini, Say... Bang Budy nggak pernah
ngomong tentang itu... tapi tiba-tiba aja kemarin pagi aku ditelepon, disuruh datang ke kantor
manajemen, dan di sana baru mereka bilang kalau Yopie sudah memasukkan laporan... dan itu
karena pak Leo kepingin publisitas Excuse bisa lebih sensasional. Kamu kira aku nggak kaget?
Nggak marah? Aku juga kaget... marah... tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa...”
“Tapi... tapi...” Aku akhirnya berhasil bicara dengan bibir gemetar, biarpun masih nggak
jelas, “kamu kan bisa cerita sama aku setelah itu... aku nggak harus tau kamu dilaporkan ke polisi