Page 66 - dear-dylan
P. 66

Mbak  Vita  datang  menjemputku  setengah  jam  setelah  aku  meng-SMS-nya,  padahal  jarak
               rumahku  dan  Dylan  biasanya  harus  ditempuh  dalam  45  menit.  Aku  sampai  geleng-geleng,
               kecepatan  menyetir  Mbak  Vita  memang  luar  biasa,  nggak  bisa  dikalahkan  oleh  Bang  Tora
               sekalipun, apalagi Dylan (ya iyalah, Dylan kan nggak bisa nyetir mobil!).
                    “Hai, Mbak,” sapaku begitu memasuki mobil. Mobil Mbak Vita bukan jenis sedan atau city
               car  manis  macam  Honda  Jazz  yang  biasa  dipakai  cewek.  Mobilnya  Chevrolet  CAptiva,  yang
               gedenya amit-amit dan berkesan sangar. Cocok sama Mbak Vita yang memang cewek jagoan.
                    “Hai, Lice. Sori, nunggunya kelamaan, ya?”
                    “Haha, nggak kok. Malah aku bingung kok Mbak sampainya cepet banget.”
                    “Lho, nama belakang gue kan Schummacher.”
                    Aku  tertawa,  dan  Mbak  Vita  menjalankan  mobilnya.  Kami  langsung  disambut  lalu  lintas
               Jakarta yang macet setelah keluar dari kompleks perumahanku.
                    “Persiapan pestanya udah sejauh apa nih, Mbak?” Aku memulai obrolan.
                    “Yah,  udah  hampir  lima puluh  persen.  Tanggal  pemberkatan  di  gereja  udah  cocok,  sewa
               gedung beres, katering beres... tinggal yang kecil-kecil aja kayak undangan sama suvenir, terus
               baju-baju untuk panitia...”
                    “Capek ya, Mbak, ngurusnya?”
                    “Haha, iya... Gue dulu nggak nyangka mau nikah aja segini ribetnya. Kalau tau bakal begini,
               gue nolak deh waktu dilamar Tora.”
                    “Heh?” Aku bengong. Mbak Vita kok ngomong gitu sih?
                    “Waaahh, lo percaya, ya? Hahaha... bercanda, kali!” Mbak Vita mengibaskan tangan kirinya
               di depan wajah bengongku. Fiuhh, ternyata dia cuma bercanda, aku kira dia serius mau menolak
               lamaran  Bang  Tora  seandainya  dia  bisa  kembali  ke  masa  lalu.  “Gue  malah  udah  nggak  sabar
               nunggu Hari H-nya, hehe...”
                    Aku terkekeh.
                    “Eh, tapi nanti kalau lo merit, jangan tunjuk gue jadi panitianya, ya?” kata Mbak Vita lagi.
                    Aku nyaris menggigit lidahku sendiri. “Mer... merit?”
                    “Iya, kan suatu saat nanti lo bakal merit. Katakanlah, enam atau tujuh tahun lagi. Nah, kalau
               lo meritnya sama Dylan, gue jangan dilibatin jadi panitia, ya? Pusing gue... cukup sekali seumur
               hidup deh ngurus tetek bengek pernikahan. Nanti kalau anak gue udah dewasa dan mau merit,
               gue bakal suruh dia pakai wedding organizer aja,” cerocos Mbak Vita.
                    Aku sudah amat sangat bengong.
                    “Yaelah,  bengong  lagi  dia!”  Mbak  Vita  mengerlingku,  dan  dia  terbahak.  “Udah,  jangan
               dipikirin omongan gue tadi itu, ntar lo stres, lagi. Cuma pemberitahuan awal kok, biar nanti lo
               nggak kaget kalau gue nolak jadi panitia, hehe... Lagian masih lama juga.”
                    “Oh... ehh... iya,” jawabku kagok karena bingung entah harus menjawab apa.
                    “Oh iya, soal masalah yang kemarin,” kata Mbak Vita sambil menyalip mobil di depan kami,
               “gue nggak nyangka owner Pro Music bisa punya... ide kotor kayak gitu.”
                    “Iya... aku juga nggak nyangka.”
                    “Dylan dimanfaatkan habis-habisan sama dia, dibikin jelek reputasinya... cuma demi band
               baru yang belum tentu layak ngedapetin itu semua.”
                    “Iya, kasihan, Dylan... dia tertekan setengah mati...”
                    “Ya iya, kan dia terpaksa ngelakuin itu semua. Dan lo tau nggak apa yang ada di pikiran
               gue?”
                    “Apa?”
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71