Page 68 - dear-dylan
P. 68

KAPAN NYUSUL?









               “PERUT kau ini... sudah seperti perut Bapak kau saja, hahaha...,” oceh Tante Luci sambil
               melilitkan meteran jahit di pinggang gue, sementara gue memelototinya dengan bete. Masa
               dia bilang perut gue udah mirip perut Bokap?!
                    Emmhh... kalau dilihat-lihat sih memang mirip dikiiitt... Kayaknya gara-gara gue makan-
               tidur makan-tidur melulu akhir-akhir ini.
                    “Jas kau bisa nggak cukup nanti. Jangan tambah gendut lagi ya.” Tante Luci melepaskan
               lilitan meterannya, dan mencatat ukuran pinggang gue di notes kecil yang dia bawa. Yeah,
               dia  memang  penjahit  yang  ketiban  tugas  menjahitkan  baju  kami  semua  untuk  pesta
               pernikahan Tora dan Mbak Vita, dan, sayangnya, dia masih kerabat jauh keluarga ini juga
               (yang  berarti  dia  bakal  punya  sedikit  kebebasan  untuk  mengomentari  ukuran  badan  kami
               semua).
                    Kayak badan Tante Luci proporsional aja.
                    “Soreee...  wah,  udah  pada  rame  nih!”  Mbak  Vita  masuk  dari  pintu  depan,  sambil
               memutar-mutar kunci mobil di tangannya. Di belakangnya, mengekor... Alice.
                    “Hai,” sapanya pelan begitu melihat gue, dan gue nyengir lebar. Dia hampir mencapai
               tempat gue berdiri, waktu Mama melihatnya.
                    “Hai,  Alice,  udah  sampai?”  Mama  mencipika-cipiki  Alice  dengan  penuh  semangat.
               Entah kenapa Mama sepertinya euforia berlebihan kalau ketemu Alice. “Mau minum dulu?
               Atau makan kue? Tante baru habis bikin tar kelapa tuh.”
                    “Ehh... makasih, tapi nanti aja, Tante.”
                    “Oke, tapi janji ya, nanti makan?”
                    “Iya, Tante. Pasti.”
                    Akhirnya  dia  berhasil  juga  mencapai  tempat  gue  berdiri,  setelah  Mama  pergi  melihat
               proses pengukuran badan Tata dan Ina, dua sepupu gue yang bakal jadi penerima tamu juga.
                    “Hai,” katanya lagi.
                    “Hai,” balas gue. “Sori ya, tadinya aku yang mau jemput, tapi kata Mama biar Mbak Vita
               aja, soalnya aku harus ngukur badan juga. Kalau Mbak Vita kan nggak ikutan ngukur.”
                    “Iya,  iya,  nggak  papa  kok.”  Dia  menepu-nepukkan  tangannya  di  lengan  gue.  “Kamu
               udah selesai ngukurnya?”
                    Gue memberi isyarat dengan alis pada Tante Luci yang masih mencatat-catat di dekat
               gue.
                    “Nih,  masih  ribet.  Kacau  deh,  padahal  dua  jam  lagi  aku  harus  ngumpul  di  kantor
               manajemen. Nanti malam kan ada show di kafe... aduh, apa sih namanya? Lupa...”
                    “HIPS,” jawab Alice.
   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73